04 April 2008

Free Piching: Suatu Tantangan yang harus Kita Hadapi Bersama

Upaya menarik fee creative secara pantas dari klien yang terbiasa membayar ongkos kreatif sangat murah, memang bukan soal gampang. ceritanya akan menjadi lain, andai kata pada awalnya fee creative dipatok secara pantas dan benar-benar terpisah jelas dari komisi media biling....... Setahun silam, usai pertemuan FDGI(forum Desain Grafis Indonesia) dimana Panitia bagi-bagi Stiker Bertuliskan Anti Free Pitching, seorang teman yang berkerja di advertising Agency sambil senyum-senyum mengungkapkan; "weleh ... ada-ada saja, mana bisa ngilangin free pitching...? Jika ditelusuri lebih lanjut, industri advertising di Indonesia terbiasa hidup dari komisi media biling, sementara pemasukan dari pekerjaan kreatif bisa dibilang menjadi pos pendapatan sekunder. hal inilah yang menyebabkan ongkos kreatif juga tidak mendapat atensi khusus. (pokoknya, asal bilingnya masuk, PO (Purchase Order) iklan diperoleh, maka perkerjaan kreatif akan diterima berapapun harganya. selain itu, hal ini membuat praktek free pitching yang tak lazim itu pun menjadi lazim. ini akhirnya membuat paradigma klien menjadi rusak. free pitching lalu dijadikan standard pembuka negosiasi. klien lalu cenderung menggap bahwa perkerjaan kreatif memiliki value yang lebih rendah dibandingkan dengan ongkos cetak dan ongkos tayang... Sialnya, sering kali klien-klien tersebut juga merupakan klien-klien industri desain grafis. klien yang sudah keenakan disodori "service" luar biasa tersebut cenderung menjadi pelit dan menuntut. ini membuat industri desain grafis industri yang boros, tidak efesien, serta berprofitabiltas rendah. tentunya keadaan ini bukan semata buah karya para pelaku industri advertising. banyak juga firma-firma desain, menagement consultant, percetakan, atau pun namanya yang menarik bayaran minim dari pekerjaan kreatif, karena terbiasa menikmati mark-up lumayan dari ongkos cetak. Senjata Makan Tuan Kembali ke Industri Advertising, model bisnis yang menekankan pada komisi media biling tersebut ampuh membawa para pelakunya ke suatu keadaan yang pelik. mungkin inilah penyebab mengapa beberapa adevertising agency baru-baru ini melakuakan PHK dala jumlah yang signifikan. Budiman Hakim, Creative Macs909 menulis suatu artikel menarik di Majalah ADOI tentang Industri Advertising Indonesia yang puyeng akibat gempuran jenis perusahaan yang relatif baru, yang disebut media specialist. berbeda dengan full Service Agency, Media Specialist. berbeda dengan full service Agency, media specialist cukup puas hanya dengan menerima komisi 3% dari media biling (bandingkan dengan nilai full service agency yang idealnya ada dikisaran 15%-16%). kesimpulannya dalam hal media placement, full service agency sangat sukar untuk bisa bersaing dengan media specialist. Namun Demikian, mencoba untuk menarik fee creative yang pantas kepada klien yang terbiasa mendapatkan ongkos kreatif secra murah bukanlah hal yang gampang. akibatnya profitabilitas habis! Keberuntungan Di Balik Musibah Tapi Coba Ambil Positifnya saja...memang banyak klien yang sudah terbiasa di-service dengan harga kreatif yang sangat murah, namun demikian, trend menunjukkan bahwa klien mulai memisahkan budget desain dan budget produksi (ongkos cetak/ ongkos tayang). mau tidak mau kita sebagai supplier harus membangun aliran income kita dari pos yang seharusnya, yaitu pos pendapatan dari jasa yang kreatif. selain lebih jujur, keputusan untuk tidak menyembunyikan biaya desain dalam biaya produksi (cetak, dll) akan memilki efek edukasi yang positif terhadap klien tentang value dari desai yang baik. Menurut pengalaman saya, desainer bahkan bisa membangun suatu hubungan bisnis yang sehat yang didasarkan atas trust (saling percaya) dan saling menghargai. kita perlu membuat klien mengahargai eksistensi kita sebagai penyedia jasa desain yang notabene suatu bentuk intelektualitas yang memilki nilai tambah. sudah selayaknya kita sebagai desainer yang kompeten berani memilih untuk berhubungan hanya dengan klien yang mengerti "Value of good design" dan mau merogoh kantongnya untuk nilai tambah yang kita ciptakan... tanpa nyali ini, kita cenderung dipandang rendah dan ditawar bak pedagang kaki lima....tak mudah melakukannya! tapi perlu diperjuangkan......

Kreatif itu, Butuh Nyali Gede

Kalau Bicara tentang Kreativitas, Biasanya akan nyasar pada hal-hal yang berbau seni, atau desain. Bisa jadi itu sebabnya sanggar lukis anak-anak cukup menjamur, karena banyak ortu yang ingin anaknya kreatif lalu menyuruh putra-putrinya les nggambar (meskipun banyak sanggar akhirnya malah membuat anak-anak menjadi tidk kreatif, karena metode pengajaran super baku, atawa asal tiru (istilah keren-nya step by step).

Tapi kalau ditanya, Seperti apa orang kreatif itu?, maka saya akan menjawab: orang kreatif itu adalah orang yang banyak akalnya, yang selalu berhasil nemu jalan keluar dan lolos meskipun kepepet. Jadi, nggak harus lulus sanggar lukis atau menang award kreatif dulu baru dibilang kreatif. Terlebih lagi, sama halnya dengan kemanjuran obat baru teruji saat diminum, akal atau ide tersebut baru ada gunanya saat dijalankan betapapun orisinal suatu ide, kalau ditanya direnung-renungkan saja = omong kosong!

Masalahnya, merealissikan satu ide bagus itu membutuhkan keuletan dan keberanian. Tentang pengalamannya dalam eksprimen penemuan bohlam lampu listrik, Thomas Alfa Edison pernah bilang bahwa, “tak sekalipun saya gagal! Malahan saya telah sukses membuktikan, bahawa ada 700 cara “menciptakan bohlam lampu.
Setelah saya mengeliminasinya satu per satu, maka saya akan menemukan cara yang tepat.” Segera Edison menjadi terkenal sebagai jenius kreatif.
Namun demikian, ceritanya akan lain bisa Edison patah arang dan menghentikan upayanya pada eksprerimen nomor 699.

Jadi, kreatif itu baru terbukti bila suatu ide akhirnya menjadi kenyataan alias berbentuk materi. Ada jazadnya. Dan bukan Cuma suatu ide yang sekedar menari-menari dibenak penciptanya atau berupa omdo (Omongan Doang)..

Implementasi
Bagian paling membosankan, menakutkan dan memerlukan ketekunan.
- Woody Allen, Seorang filmmaker terkenal yang memenangkan 3 piala oscar berujar, ”90% of success it just showing up!” Istilah Jawanya, sukses itu 90 %nya seseorang bersedia untuk hadir & Nongkrongin disitu sepenuh hati, sampai jadi!

Butuh nyali gede alau kita mau merelisasikan satu ide kreatif yang orisinal. Pasalnya sesuatu yang orisinal itu pasti baru, pasti nggak umum, kadang terlihat ganjil, challenging dan kadang kontroversial. Implikasinya, sesuatu yang baru itu belum tentu bisa diterima oleh pasar, jadi resikonya cenderung lebih besar ntuk merealisasikan ide orisinal kita.

Namun kalau mau yang resikonya rendah, ya nggak usah sok kreatif. Ikutin saja apa yang sudah ada, nyontek, atawa menjadi budak keinginan pasar, sambil berangan-angan menelorkan ide besar tanpa berani bertaruh/ ambil resiko dengan mengorbankan kondisi status quo, yang kadang kalah sangat nyaman (comfort zone).

Mungkin memang ada kalanya kita harus menjalani hidup berkreasi sesuai keinginan klien (amatir) kita. Istilahnya , apa saja di-turutin meskipun acapkali tak sesuai dengan esetika dan hati nurani, namun kreatif tahu bahwa hal itu hanyalah sementara - dan tetap bermimpi sekaligus mencari-cari jalan keluar untuk mencipta sesuatu yang lebih. Lihat aja Edo Kondologit penyaynyi bersuara emas yang pernah menjalani hidup jadi kuli bangunan , tukang sapu dan satpam, sampai akhirnya bisa ketemu jalan keluar untuk benar-benar jadi penyanyi top. Udah pasti dalam perjalanannya tak terhitung berapa banyak usaha yang gagal. Benar-benar ’usaha’, dan tak semata-mata wacana.

- Omong-omong soal wacana, studi banding, dll, mungkin Indonesia jagonya. Tapi sebenarnya, tanah ini nggak butuh orang-orang model begitu. Indonesia ini butuh orang-orang mau bersedia bekerja kers, berani ambil resiko mendobrak hal-hal yang terlihat impossible, bukan cuma bisa bikin sinetron kampungan atau cari celah agar dapat remah-remah objekan bikin website departemen ber-budget total 17,5 milyar!

Yang kayak gitu mah, sudah keseringan muncul dinegeri ini. Nggak kreatif banget, deh!!!