31 December 2008

Seni kontemporer

Seni kontemporer

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Kontemporer)
Langsung ke: navigasi, cari

Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi.Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi Seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan jaman dulu dan berkembang sesuai jaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.

Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana postmodern dan postcolonialism yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.

Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut:

  1. Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik.
  2. Punya gairah dan nafsu "moralistik" yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
  3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.

[sunting] Seni kontemporer dan seni posmodern

Kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni posmodern, seni posmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).

[sunting] Perkembangan seni kontemporer Indonesia

Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang.

Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara atau seremonial saja.

Seperti diungkapkan Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT) Sanggar Laksamana Pekanbaru yang tidak hanya diminati para koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari kontemporer tersebut. "Para koreografer sudah tiba di Pekanbaru, mereka menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari itu," ujar Humas Pasar Tari Kontemporer, Yoserizal Zen di Pekanbaru[1].

Lukisan kontemporer semakin melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari galeri Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, "Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern."[2]

Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, "Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus," kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. "Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah," timpalnya.

Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.

Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu posmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu.

Seminar Seni Kriya Dulu, Kini dan Mendatang

Seminar Seni Kriya Dulu, Kini dan Mendatang

Dalam rangka Purna Tugas Prof Dr Sumijati Atmosudiro, dan memperingati lustrumnya yang ke-IX, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM menggelar seminar internasional bertajuk “Craft: Past, Present And Future”, di fakultas setempat, Sabtu (8/9). Seminar dibuka Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD, diikuti 200 peserta dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Belgia dan Jerman.

Seminar Internasional Kriya Dulu, Kini dan Mendatang, menurut Dr Inajati Adrisijanti merupakan bentuk penghargaan Jurusan Arkeologi FIB UGM kepada Prof Dr Sumijati Atmosudiro. Seorang Guru Besar di Jurusan Arkeologi FIB UGM, yang telah memasuki usia 65 tahun dan telah mencurahkan perhatiannya pada seni kriya, khususnya gerabah.

Seni kriya merupakan suatu hasil budaya manusia yang sangat hebat. Seni kriya merupakan suatu ekspresi yang sifatnya pengabungan antara simbol sakral dengan non sakral—mengekspresikan konsep budaya ide menjadi kenyataan—yang mempunyai nilai keindahan bagi dirinya dan bagi orang lain. Kadang, hasil Seni kriya tersebut hanya diperuntukkan untuk sesaat, tetapi juga dapat dipakai untuk selamanya. Seni kriya terealisasi dalam berbagai media seperti dalam lontar, bambu, kayu, batu (andesit, pualam granit dsb), serta ataupun gabungan berbagai media. Hal ini menunjukkan bagaimana manusia masa lalu mencoba mengembangkan diri menyemesta.

Sumbangan besar Jurusan Arkeologi FIB UGM pada Seni Kriya terjadi pada tahun 2000. Saat itu Jurusan Arkeologi membantu pengrajin batu akik di Pacitan melalui peningkatan mutu desain.

”Tadinya masyarakat menjual dalam bentuk akik sederhana. Bongkahan-bongkahan, setelah kita bersama mereka, batu-batu dibentuk barang yang lain, seperti gantungan kunci dan lain-lain,” ujar Inajati.

Sentra kriya akik di daerah itupun akhirnya terus berkembang. ”Hingga saat ini telah terbentuk jalur pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari). Di jalur selatan ini banyak ditemui sentra-sentra industri semacam ini,” lanjut Inajati.

Sementara itu, salah satu panitia seminar Dr Widya Nayati MA mengungkapkan, hasil seni kriya berkait erat dengan perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Dari seni kriya, berbagai bukti adanya perkembangan kebudayaan dapat dipahami. Kontak antar individu—baik dari kelompoknya maupun dengan kelompok lainnya (baik dalam satu wilayah maupun dari luar wilayah geografisnya), menjadikan perkembangan budaya masing-masing kelompoknya.

”Seni kriya dapat berfungsi sebagai media komunikasi antara satu individu dengan yang lainnya, ataupun antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,” ungkap Widya Nayati.

Selain itu, katanya, perlu pola pendidikan menjadikan setiap manusia Indonesia trampil dalam melakukan dan mengembangkan seninya. Pengenalan atas seni kriya, proses pembentukan serta pengenalan atas seni lokal-tradisional pun harus disampaikan kepada generasi sekarang.

Permainan anak tradisional—baik itu othok-othok—misalnya, kata Widya Nayati, merupakan suatu peraminan tradisional yang sangat fantastis dan futuistik. Dengan hanya memainkan alat tersebut, anak akan mampu mengolah dan melenturkan otot tangannya. Anak dibiasakan dengan berbagai bunyi dari alat yang sama—karena satu mainan othok-othok akan menghasilkan bunyi yang saling berbeda.

”Selain itu, dari othok-othok, anak mampu melihat bagaimana pembuat mengeksploitas alamnya dengan arif—tanpa merusak. Mereka membuat secukupnya, untuk orang lain, dan untuk kebaikan semuanya. Jelas bahwa penemuan Seni kriya merupakan penemuan ’yang beyond the limit’ pada masa itu,” tandasnya.

Sejumlah pembicara tampak hadir dalam seminar ini, seperti Mr Rudi Corens, Drs H Gunardi Kasnowihardjo Mhum, Dra Juhartatik, Dr John N Miksic, Drs Abd Azis Rashid MA, Horst Liebner MA, Prof Soedarso Sp MA, Dr A Agung Suryahadi MEd CA, dan Dra DS Nugrahani.(Humas UGM)

Gerakan seni dan kriya

Gerakan seni dan kriya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gerakan seni dan kriya atau lebih dikenal dalam bahasa Inggris sebagai art and craft movement adalah suatu gerakan pada akhir masa revolusi industri yang mementingkan komitmen kerja dan keindahan. Penganutnya menolak estetika yang dihasilkan oleh produksi secara massal, yang dianggap sebab utama hilangnya keindahan individual.

Art and craft movement memberikan kesan kembali ke periode gothic, roccoco, dan renaisans. Salah satu ciri utamanya adalah karya seni dibuat secara individu oleh seniman dengan sentuhan artistik yang khas. Setiap karya digarap dengan serius dan teliti.

[sunting] Klasifikasi

Secara garis besar, art and craft movement terbagi atas dua aliran besar, yaitu:

  1. Rasionaliasi desain oleh kalangan modernis-formalis
  2. Stilasi desain oleh kalangan stylish, yang kemudian melahirkan Art Nouveau

[sunting] Contoh karya

  • Cover majalah studio 1888 - tidak dikenal
  • Cover majalah "Craftsman" - Gustav Sticley
  • Halaman buku "Morte'd Arthur" - Aubrey Breadsley

[sunting] Contoh seniman

  • William Morris
  • Owen Jones
  • Gustav Sticley
  • Aubrey Breadsley
  • Arthur Mc. Murdo
  • Adolf Loos
  • Michael Tonet