15 June 2007

TENGANAN & Kain Geringsingnya

TENGANAN & Kain Geringsingnya
Oleh : Widya Prabandari

Tenganan adalah sebuah desa terpencil di Kabupaten Karangasem, sekitar 65 kilometer dari kota Denpasar, Bali. Desa ini terbilang tetap tegar bertahan dalam arus globalisasi yang pesat akan perkembangan teknologi dan informasi. Tenganan selama ini kurang ”terdengar” dalam peta pariwisata di Pulau Bali. Jangankan dengan Kuta, Ubud atau Sanur. Dengan Candidasa yang berdekatan dengan lokasi tersebut Tenganan memang kalah santer terdengar dalam objek pariwisatanya.
Masyarakat Tenganan cukup berhasil mempertahankan tradisinya hingga sekarang ini, mereka masih berpegang teguh pada awig-awig atau peraturan adat desa yang ditulis sejak abad ke 11 dan diperbaruhui tahun 1842 karena yang asli terbakar. Kehidupan masyarakat Tenganan, walaupun nantinya sudah menerima masukan dari “dunia luar”, tentu tidak semudah itu akan bisa berubah cepat, karena awig-awig tetap memilki peran dan fungsi sentral. Berbeda halnya dengan Kuta yang sudah penuh gebyar dengan kehadiran hotel dan arus wisatawan yang melimpah, Tenganan tetap bertahan dengan tiga balai desanya yang kusam, dengan deretan rumah adat yang satu sama lain sama persis dengan garis keturunan yang dipertahankan keasliannya dengan sesama warga desa.
Penanganan pariwisata di Tenganan kurang terprogram dengan baik, terasa ketika wisatawan pertama kali menginjakan kakinya memasuki objek wisata hanya ada sebuah pintu “gerbang” sempit yang hanya cukup dilewati satu orang. Sebelum masuk wisatawan harus menyumbang secara sukarela kepada petugas dan mengisi buku tamu. Tidak ada tiket masuk ke desa yang sekaligus menjadi objek wisata itu, di Tenganan sistem Barter yang digunakan semua perdagangan berdasarkan pada kepemilikan kolektif atas tanaman, sawah dan kerbau yang dibiarkan berkeliaran bebas di kawasan desa.
***
Inikah yang menjadi pertayaan dalam tulisan ini, Apakah Tenganan identik dengan kain Geringsingnya ? kain Geringsing Tenganan memang sangat penting untuk upacara-upacara tradisi di desa setempat, juga di desa-desa sekitarnya, seperti Tenganan Dauh Tukad, Bugbug sampai Bungaya. Kain ini dianggap penting dan sakral sehingga kerap dikenakan masyarakat setempat saat upacara besar seperti ngasaba desa ?.
Ada tiga elemen warna pada kain Geringsing yakni merah, hitam dan kuning. Ketiga warna itu diduga merupakan simbol Tri Murti, yakni merah (api sebagai simbol Brahma), Hitam (air sebagai simbol Wisnu) dan kuning (Angin sebagai simbol Siwa). Ketiga unsur tersebut menurut klepercayaan masyarakat Tenganan merupakan hal yang terpenting bagi manusia tanpa Api, Air dan Angin manusia tidak bisa hidup di alam semesta ini.
Untuk warna merah sendiri didapat dari akar sunti asal Nusa Penida, sementara warna kuning berasal dari minyak kemiri. Agar warna bisa masuk ke dalam serat-serat benang dengan sempurna memakan proses yang panjang. Untuk warna kuning saja butuh waktu selama satu bulan tujuh hari. Warna merah setidaknya perlu proses selama tiga hari. Seterusnya, secara total keseluruhan dari awal proses pencucian-penjemuran-penyimpan memakan waktu kurang lebih tiga bulan.
Dulu, terbatasnya penenun kain geringsing, selain karena prosesnya amat sulit dan memerlukan waktu lama, juga bahan pewarna kain sulit didapat. Bahan pewarna benang untuk ditenun menjadi kain geringsing, berupa getah pohon tibah (mengkudu) hanya khusus didapatkan di Nusa Peninda. Sementara kulit akar mengkudu di luar Nusa Penida menghasilkan warna merah kekuningan.
Keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan jumlah penenun kain khas Tenganan ini hanya lima orang itu pun perajinnya tergolong kalangan wanita tua, tapi kini jumlah perajin telah mencapai puluhan, dan banyak dari kalangan wanita muda. Namun disayangkan terjadi pergeseran tujuan dari tradisi menenun kain geringsing, kalau dulu penenun hanya berorentasi pada bakti untuk sarana atau busana upacara keagamaan, kini penenun mulai berorentasi untuk tujuan komersil pasar. Sehingga dalam proses pewarnaan benang ataupun penenunan mulai mengarah pada efesiensi waktu.
Belakangan ini pewarnaan benang untuk kain geringsing yang di jual belakangan ada yang lebih cepat, yakni dua sampai empat tahun. Dalam periode tertentu, benang yang tengah dicelup kerap dibuka atau diangkat, guna melihat apakah warnanya sudah cukup untuk ditenun. Belakangan ini ada beberapa benang yang sudahtak bisa menyerap warna dari larutan kulit akar mengkudu. Oleh karena itu, perlu dicari benang yang masih memungkinkan bisa ditenun menjadi kain geringsing. Terjadi pergeseran orientasi kerajinan menenun kain geringsing ini ada baiknya, jumlahnya kian bertambah dan tak ada kekhawatiran lagi bahwa kain bercorak khas ini kelamaan punah ditelan moderenisasi.
Di artshop dekat pintu masuk ke desa Tenganan selembar kain geringsing yang lebarnya dua jengkal tangan dengan panjang seperti selendang. seharga Rp 400.000, sampai Rp 1 Juta. Banyak wisatawan asing maupun domestik terkejut, heran dengan harga fantastik ini, memang jauh berbeda dengan kain hasilan pabrikan yang dijumpai di toko tekstil.
Kendati kain tenun tradisional etnik lain membanjiri pasar batik di Bali, tampaknya hal itu tak terlalu berpengaruh terhadap pasar produk kain geringsing yang diproduksi warga Desa Tenganan Pagringsingan. Kain etnik khas produksi asli warga Tenganan ini sudah banyak dikenal orang tidak hanya di pasar lokal tetapi di pasar internasional karena dari segi harganya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk sebuah kain tenun Geringsing yang klasik.
Untuk harga selembar kain geringsing memang harga yang ditawarkan cukup tinggi dan eksklusif dikarenakan proses pembuatannya memakan waktu lama dan juga butuh perlakuan khusus, untuk penggunaan warnanya masih secara alamiah dari tumbuh-tumbuhan. Kain geringsing yang terbuat dari benang single juga lebih murah. Jadi, harga kain geringsing itu tergantung dari kualitas atau proses pembuatannya, warna, pola atau coraknya
Berbeda dengan harga kain geringsing yang ada di artshop dekat pintu masuk desa Tenganan, kain geringsing yang asli dengan ukuran kecil bisa mencapai Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta. Jika kualitas dan ukuran yang sedang berkisar Rp 10 juta sampai 12 juta. Makin rumit pola dan corak makin lama proses pengerjaannya dan umumnya makin tinggi nilainya. Apabila ada kain geringsing yang tergolong kuno, masih bagus kualitas warnanya serta utuh nilainya bisa mencapai ratusan juta.
Nah jika ada hal-hal yang “khas” di Tenganan selain masyarakatnya yang memunculkan perasaan halus berbau ironis ketika meyaksikan “keterasingan” dan kesederhanaan mereka. Jika dimungkinkan, tanpa harus melanggar awig-awig tinggalan para leluhur, masyarakat Tenganan sebaiknya dilatih untuk bisa menangkap peluang, mengelola pariwisata dan bukan membunuh potensi pariwisata desa Tenganan sendiri, dengan pengelolaan pariwisata yang baik diharapkan perkembangan tersebut tanpa merusak tradisi yang sudah lama terjaga. (nymph)

GALERI-KU SEKARANG JADI GUDANG KRIYA

GALERI-KU SEKARANG JADI GUDANG KRIYA
A.B Justiwiasro
Patut disayangkan sekali tulisan ini diterbitkan kembali, dikarenakan tulisan sebelumnya tidak ditanggapi dengan serius oleh pihak jurusan kriya, mungkin bapak dan ibu dosen sedang sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga pendapat mahasiswanya dilupakan begitu saja. Bagaimana keadaan kampus kriya ini dapat berkembang lebih baik lagi kalau setiap ada wacana dan permasalahan yanmg berkembang tidak pernah ditanggapi dengan serius, mentok-mentoknya paling diberikan janji-janji manis yang tidak pernah didapatkan jalan keluarnya.
Kurang pedulinya pihak jurusan beserta jajarannya terhadap pemeliharan inventaris kampus sendiri patut dipertayakan, apa karena keterbatasan dana dari pusat sehingga pemeliharan dilupakan begitu saja itu bukan suatu alasan yang mendasar dan itu semua tanggung jawab oleh pihak jurusan mengenai pemeliharan inventaris kampus. Jangan selalu mencari kambing yang berwarna hitam sebaiknya carilah kambing yang berwarna putih yang dapat dijadikan jalan keluar yang terbaik tetapi tidak merugikan orang lain dan tidak menimbulkan masalah baru lagi yang lebih rumit, itu kiranya sesuatu yang bijaksana sekali bila semua dikerjakan sesuai dengan tanggung jawab dari masing-masing pihak.
Inventaris yang dimiliki jurusan kriya memang agak banyak mulai dari mesin praktek yang banyak tidak berfungsi sampai dengan barang yang tidak habis dipakai dan tersimpan digudang. Saat ini galeri kriya lah yang disorot karena keberadaannya kurang membanggakan hampir mirip dengan gudang kriya yang selalu dikunci seakan-akan tak bersahabat dengan mahasiswanya. Masukkan dan kritikan yang ditujukan kepada pihak jurusan mengenai keadaan galeri kriya yang keadaannya sudah disampaikan dalam edisi ke-04 kemaren tetapi sampai saat ini belum ditanggapi dengan serius hanya berupa janji-janji manis dari pihak jurusan
Galeri yang seharusnya dapat dijadikan sebuah cerminan untuk mengukur sejauh mana prestasi akedemik dari mahasiswa kriya pertahunnya dapat dipantau selalu. Layak sebuah galeri yang setiap harinya dibuka dan terlihat bersih selalu, keadaannya sangat jauh sekali dengan galeri kriya yang kita miliki. Kalu tidak bisa setiap harinya dibuka dan bersihkan minimal 2 kali dalam seminggunya. Diharapkan dengan galeri kriya ini mahasiswa dapat termotivasi ketika mereka sering melihat karya-karya dari seniornya sehingga galeri kriya ini bisa menambah refrensi dan literautr mereka dalam berkarya.
Tulisan memng sedikit mendesak dan memberi tekanan agar bisa ditanggapi oleh pihak jurusan di depan publik agar semua tahu terutama adik-adik angkatan ’02 yang belum banyak mengetahui bahwa jurusan kriya sendiri punya galeri sendiri walaupun keadaannya sangat memperhatikan sekali. Terima kasih banyak, kita bersama bersatu demi majunya kriya kita. Mari Terus-lah berkriya.

DINAMIKA PERKEMBANGAN SENI KRIYA

DINAMIKA PERKEMBANGAN SENI KRIYA
Oleh : SP Gustami

Proses pembentukan seni kriya di Indonesia berlangsung tumpang tindih, kait mengait. Eksistensinya berlangsung dari masa ke masa menembus periode zaman. Kehadirannya memperkaya khasanah seni budaya bangsa, beberapa bidang di antaranya menjadi tradisi, beberapa lainnya mencapai tingkat klasik. Pencapaian kualitas estetik yang klasik itu dikarenakan proses penciptaannya dilandasi eksplorasi mendalam disertai perancangan yang mantap, sehingga produk yang dihasilkan diterima masyarakat luas, meskipun didera gelombang perubahan zaman.
Sejak bergulirnya faham antroposentrisme dan bergulirnya revolusi industri, perkembangan seni kriya di Eropa Barat mengalami lompatan yang sangat dashyat, sejalan dengan berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Barat, perkembangan bidang keteknikan, yang semula merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas kekriyaan di guilde-guilde art and craf, yang memperlihatkan kemajuan yang spektakuler, meskipun perkembangan mendapat kritik yang tajam dari kalangan ahli seni. Perdebatan itu dipicu oleh interprestasi kalangan kriyawan yang mengangap menuai badai pengorbanan sisi kemanusia di tengah kemajuan produk massa industri pabrik. Perkembangan seni kriya di Indonesia, mestinya seiring perjalanan panjang budaya bangsa yang berlangsung sejak zaman prasejarah, Hindu, Islam, dan moderen. Dalam kenyataan, perkembagan terasa mandeg, akibat kejenuhan pola pikir ketimuran yang tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata. Kurangnya para ahli seni kriya Indonesia mencari dan menemukan konsep penciptaan seni kriya baru sesuai perubahan dan perkembangan zaman, berakibat redupnya kreatifitas. Kelemahan ini memberi peluang masuknya relokasi seni kriya dari luar Indonesia.
Kepekaan kriyawan Indonesia terhadap situasi dan kondisi zaman tampaknya kurang terpupuk, padahal dari waktu ke waktu selalu timbul tantangan baru akibat derasnya perubahan perilaku dan tindakan sosial yang terus bergulir. Yang mengenaskan adalah, setiap usaha pembaharuan yang diperjuangkan oleh kriyawan justru menghadapi benturan kekwatiran sementara pihak, tanpa solusi Kelompok ini mengharapkan visi seni kriya tetap berada pada jalur pemikiran tradisional, menuntut tetap pada tugas fungsionalnya tanpa material, yang perlu diberi jawab. Tentu disadari bahwa akibat timbulnya diferensiasi, diversifikasi, dan spesialisasi banyak dibidang keahlian seni yang berkembangan secara otonom dan menjadi disiplin tersendiri. Cabang seni-seni yang masih tergabung dalam seni kriya seolah kehilangan mata rantai pengikat dengan cabang-cabang seni tersebut.
Dalam era keterbukaan terdapat kecenderungan persaingan yang ketat di berbagai bidang keahlian dengan tanda-tanda melebarnya kesenjangan sosial akibat merebaknya tekanan ekonomi, polotik dan budaya. Kerasnya persaingan itu memposisikan kehidupan umat manusia tergantung pada kesepakatan-kesepakatan nasional, internasional, bilateral dan multilateral. Meskipun demikian, seni kriya memiliki peluang besar untuk berkembang lebih jauh, karena didukung oleh seni budaya masa lampau yang melimpah Apalagi pengembangnya dilandasi eksploarsi mendalam dan didukung penguasaan teknologi maju, maka hasil yang dicapai diharapkan dapat memenuhi tuntutan mutu bahan, mutu proses, mutu produk, mutu pengelolaan, dan mutu layanan. Pengembangan yang tidak alergi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta dilandasi konsep nilai yang sejalan dengan jiwa zaman, sangat mungkin hasilnya memiliki roh dan nafas kehidupan yang dialogis selaras kondisi-kondisi penyertaannya. Dengan demikian meskipun kedudukan seni kriya dihadapkan pada berbagai tantangan dan kendala, namun dipastikan eksistensinya tetap relevan dengan kehidupan masa kini dan masa datang.
Implikasi seni kriya masa depan diliputi oleh kenisbian batas-batas teritorial, kenisbian batas waktu, berkembangnya individualisme, tumbuhnya sikap kolektivitas, timbulnya tata nilai baru dalam masyarakat, mekarnya sikap demokratisasi dalm konteks sosial, politik, ekonomi, seni, budaya dan agama. Rendahnya kritik seni kriya, diantaranya disebabkan oleh minimalnya pameran yang diselenggarakan, disamping sedikitnya kesediaan kriyawan menungkapkan penalaran dan pemikirannya. Penyelenggaran pameran seni kriya yang minimal itu berakibat kritik seni kriya sangat miskin, tingkat apresiasi masyarakat lemah, terlelap. Hal ini membuka peluang merebaknya relokasi gaya seni kriya Eropa Barat itu, keberadaan seni daerah setempat tersisih tak berkembang. Kontribusi relokasi seni Eropa Barat di beberapa daerah di Indonesia. Akibat relokasi gaya seni Eropa Barat itu, keberadaan gaya seni daerah tersisih, tak berkembang. Kontribusi relokasi gaya seni Barat itu sesungguhnya hanya sampai pada batas menopang imbuhan sementara pendapatan kriyawan. Di bidang sering terlihat perubahan dramtis terputusnya hubungan masa kini dengan masa lampau, sehingga seni masa lampau terancam kehancuran. Oleh sebab itu, perlu disadari agar kelahiran seni kriya yang baru tidak kehilangan relevansi dengan akar budaya komunitas penyangganya. Jika tidak demikian, hasil yang dapat dicapai akan memperlihatkan situasi seni dan seniman menjadi kacau dan bingung. Tentu disayangkan bila kehadiran seni baru lantas kehilangan mainsteram, nilai spirit, ruh dan jiwa komunitas penyanggaanya. Apalagi sebagai akibat pengaruh Eropa Barat yang dashyat itu. Betapa buruknya meninggalkan warisan budaya sendiri kemudian berpaling ke budaya asing. Karena itu, diperlukan pemikiran mendalam, akankah kita meniru pola pengembangan seni kriya di Eropa Barat yang berakibat timbulnya kemerosotan sendi-sendi kemanusian yang dengan menempatkan pribadi manusia sekedar sebagai pelengkap pabrik industri massa. Ataukah, berdasarkan pengalaman itu dicari solusi paradigma baru, misalnya dengan memadukan konsep pemikiran Timur (metafisika) dengan pemikiran Barat (rasional) berlandaskan keyakinan (imani) besarnya kuasa Tuhan. Hal itu berarti berpadunya secara sinergis aktifitas fakultas rasio, fakultas rasa, fakultas iman. Dengan demikian akan ditemukan sintesa baru filosofi estetik penciptaan seni kriya yang sinergis dan komprehensif, sehingga hasil-hasilnya akan bermanfaat bagi kehidupan masa kini dan masa depan.
Kehidupan moderen ditandai pemikiran rasional yang mengantarkan berkembangnya ilmu pengetahuaan dan teknologi. Sejak itu kehidupan manusia diselimuti oleh tujuan-tujuan material, meskipun terkadang berlindung di balik nilai-nilai kemanusiaan, tampaknya lebih cenderung sebagai slogan semata, sebagai tameng perjuangan untuk memuaskan tujuan material. Dewasa ini telah terjadi paradigma baru, yakni para penyangga seni kriya menjadi penentu arah kegiatan penciptaan, masyarakat memiliki kemerdekaan dan hak penuh menetapkan pilihannya. Sebab itu, para kriyawan dewasa ini harus berjuang keras merebut pengemarnya secara kompetitif. Meskipun demikian, dengan penuh keyakinan kehadiran seni kriya senatiasa akan mendapat tempat di hati pengemarnya, sepanjang kehadirannya sejalan dengan kemajuan dan jiwa zaman.
Kepada kelompok Kambium, yang saat ini mengelar pameran, saya ucapkan selamat telah mengisi dinamika perkembangan seni kriya, selamat berjuang dan sukses. Terima kasih.

Inovasi dan Teknologi Produk Kriya Di Era Globalisasi

Inovasi dan Teknologi Produk Kriya Di Era Globalisasi
Arif Suharson S.Sn

Perkembangan Teknologi khususnya teknologi elektronika dan teknologi informasin pada era globalisasi ini telah berkembang sedemikian hebatnya, dan menghilangkan batas-batas jarak dan waktu yang ada. Perkembangan teknologi juga telah mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat, serta menimbulkan gagasan-gagasan baru pada masyarakat. Kejadian-kejadian dibenua lain dapat segera kita lihat di Indonesia termasuk perkembangan dunia industri, model, musik, bahkan produk-produk kerajinan dapat diakses dengan mudah selama fasilitas untuk itu tersedia.
Melihat kenyataan ini kita akan selalu tertinggal satu langkah jika hanya mengandalkan produk kriya yang kita unggulkan just stay and see. Tanpa adanya inovasi, produk yang kita angap unggul ini akan menjadi produk yang lama-kelamaan tidak mempunyai nilai. Ada pendapat bahwa kalau kita mempertahankan tradisi yang ada, kita tetap akan hidup. Semakin langka produk kita semakin mahal produknya, dalam syair lagu Iwan Fals, mengatakan mungkin akan jadi barang antik yang harganya selangit.
Pernyataan diatas masih banyak dianut perajin kita terutama di daerah pedesaan. Para perajin pada umumnya masih kesulitan untuk membuat produk yang sifatnya baru. Pada benak mereka hanya terpikir bagaimana mendapatkan uang dengan cepat dari pada membuat produk yang sifatnya baru dan belum tentu laku dijual. Perubahan yang ada dalam dunia industri produk harus kita sadari. Tetapi bukan langsung merombak dan meninggalkan ciri khas unggulan prduk tersebut. Dengan semakin mudahnya masyarakat menikmati budaya bangsa lain, maka proses akulturasi kebudayaan ini terjadi pada berbagai bentuk kesenian, termasuk kedalamnya ialah produk-produk kriya.
Teknolgi telah menjadi alat yang sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran budaya dan berpengaruh terhadap berbagai system produksi seni kriya. Kita ambil contoh produksi seni batik, mulai dari proses pengerjaannya harus melalui tahapan-tahapan dari mendesain pola, mencanting, memberi warna, nembok, ngelorot dan seterusnya sampai menjadi batik tulis. Sekarang dengan perkembangan teknologi mesin semua langkah diatas dapat dikerjakan sekaligus dengan cetak/ printing. Demikian juga di keramik, proses pembuatan produk juga menggunakan cetak bahkan dalam kemajuan teknologi dalam proses produksi keramik yang lama menjadi cepat. Pengeringan dengan sinar matahari sudah diubah menggunakan mesin pengering tenaga listrik. Bahkan dalam industri besar sudah menggunakan mesin berjalan yang urutan produksinya cetak, pengeringan, pembakaran dan glasir dapat dilakukan sekaligus. Tentu masih banyak contoh lainnya disekitar lingkungan kita.
Kemajuan teknologi mesin untuk produksi massal telah mendorong kalangan industri menjangkau wilayah seni. Mesin tersebut dapat menunjukkan pengoperasian yang sempurna tetapi masih terbatas untuk mengambil alih bagian yang bersifat pengulangan dari suatu proses. Pada kenyataannya kerja mesin tidak dapat meniru dari kerja seni tangan manusia. Keunikkan dari produk hasil kerja tangan didasarkan pada keistimewaan dari tehknik pembuatan dan perlakuan produk yang khusus yang sering kita sebut dengan istilah Craftmanship. Tetapi dalam menciptakan produk kriya tidak semuanya dikerjakan oleh tangan-tangan yang terampil, sebagian lainnya sudah menggunakan alat bantu mesin untuk mengatasi masalah dalam pencapaian kuantitas dan kualitas produksi dengan tepat dengan tepat, cepat, dan efektif. Hubungan manusia dan mesin haruslah menjadi hubungan yang simbiotik. Pada prinsipnya bagaimana menyesuaikan diri terhadap perubahan mekanis teknologi yang cepat, bahwa kita harus memanfaatkan kedudukan mesin pada bagiannya sendiri, karena manusia tumbuh dan berkembang dengan mencari kebebasan akan kreatifitas.
Pengamatan yang telah dilakukan dalam seni kriya, khususnya dalam hasil produk kerajinan, ternyata penggunaan teknologi ini berkaitan erat dengan inovasi, kreatifitas, dan aplikasi teknologi itu terhadap proses produksi. Mengenai inovasi dan kreatifitas itu sendiri antara lain dikatakan sebagai gagasan atau praktek atau obyek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau oleh pengadopsi lainnnya, yang saling berhubungan untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai keberhasilan. Inovasi tersebut bisa meliputi perubahan-perubahan teknologi, pengetahuan, prilaku atau keputusan untuk menggunakannya dan juga proses-proses produksi baru. Adapun faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan inovasi adalah adanya kesadaran individu akan kekurangannnya, adanya kualitas ahli untuk meningkat diri, dan perangsang bagi aktifitas penciptaan dalam masyarakat.
Untuk menciptakan produk-produk kriya di era globalisasi ini, kita sebagai kriya harus kaya akan inovasi dan ide-ide desain yang kemudian digabungkan dengan hasil-hasil studi pasar observasi produk yang ada dimasyarakat, untuk dijadikan bahan masukan pada saat rancangan desain akan dimulai. Kreatifitas bukanlah suatu permunculan ataupun penciptaan ide-ide yang bebas dan lepas begitu saja, tetapi harus tetap dapat menyesuaikan dengan tradisi, lingkungan, dan pendapat masyarakat.
Munculnya inovasi baru biasanya diawali dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat. Atas dasar persoalan yantg timbul, kita sebagai Kriyawan yang berpendidikan atau mengerti masalah yang terjadi harus tanggap dan segera melakukan penelitian dan pengembangan teknologi yang disertai dengan inovasi yang inovatif dalam rancangan desain baru yang ditujukan kepada masyarakat. Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya kecepatan dalam membaca situasi di era globalisasi, khususnya kebutuhan pengrajin produk-produk kriya yang sangat membutuhkan kekayaan akan ide inovatif serta imaginasi untuki menciptakan atau mengembangkan desain-desain produk baru. Teknologi semata-mata tidak harus dengan menggunakan mesin tetapi dengan membuat pengembangan dan desain baru sudah merupakan teknologi yang sesungguhnya.
Tugas pokok yang harus kita kerjakan sebagai kriyawan adalah segera menyesuaikan diri dalam dunia perubahan mekanis yang cepat dan dapat menjawab tantangan inovasi dan teknologi di era globalisasi, serta menberikan peranan nyata dalam memajukan Kriya di Indonesia.

Mengolah rasa

Ananta Oedan

Mengolah rasa kemudian dimaksimalkan diperuntukkan bagi siapa!!! Dalam satu pihak, detak dan denyut artistic yang sama dapat pula diekpresikan dan diketahui dalam banyak media. Kriya tidak lagi memiliki anak tunggal. Agenda wacana tersebut adalah jelas untuk kita semua untuk membentuk citra rasa yang amat tinggi. Dan kemudian dipersembahkan kepada penikmat “Dari kita untuk semua”. Paduan jaman yang sudah merupakan juga sebuah pigmen warna. Bahasa dan olah gerak kriya dipadu lewat medium pokok yang memang kompleks dan pokok dapat memberikan bentuk dan sifat subjektif kriya seni.
Pada kesimpulan saya pribadi………..
Bahwa pengelompokkan dan golongan adalah wacana yang dibuat hanya untuk konsumsi orang yang akan haus, akan eksistensi pribadi saja. Tuntutan pembebasan yang sekarang belum mendapat kesempatan yang luas…..jika hal tersebut dipangkas habis…..tentu memerlukan waktu yang sangat panjang. Rentang ini harus terus dipintal agar tidak putus. Posisi, kesamaaan dan alur “art” secara teori lampau tak ada batas, hanya membuat senang kemudian dipakai untuk konsumsi sendiri. Tetapi……sekarang jelas sudah berubah, individu kriya tetap harus kritis mengolahnya, agar tempat dan wadah kriya semakin penuh dengan warna. Berlomba untuk membuat yang baru (pinjam kata dari: Edo) agar tidak lagi menjadi terkikisnya kepercayaan diri. Sekali lagi………..kriya butuh Pembebasan. Dengan tidak mengesampingkan induk kriya itu sendiri. Agar tidak terdapat pula kesenjangan wacana kriya yang memang sering dipertanyakan khalayak umum. Untuk saya pribadi………..!!!!
Yang penting berkarya Bung………….!!! Dengan media apapun.

Wayang sebuah perjalanan masa lampu ke masa sekarang

Wayang sebuah perjalanan masa lampu ke masa sekarang
Oleh, Antonius

Wayang sebuah kata yang asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat Jawa. Bagi orang-orang yang yang bergelut dibidang seni terlebih kriya seni, Wayang adalah sebuah Mahakarya yang adiluhung “High Art” dari masa lampau, dimana wayang merupakan simbol sebuah jembatan yang menghubungkan budaya-budaya terlihat dalam penuangan unsur-unsur konsep yang ada pada cerita dan tokoh-tokoh wayang itu sendiri seperti misalnya unsur filosofis, unsur estetis dan unsur krateristiknya.
Pada zaman hindu di Indonesia wayang sering digunakan sebagai sarana ritual yang kadang kala menjadi sebuah pengambaran mengenai kisah-kisah dewa Hindu sebagai tanda penghormatan dan mengajarkan ajaran-ajaran hindu dan filosofisnya, seperti misalnya pada cerita Ramayana. Mulai dari masa kerajaan Kediri setelah Tahun 928 M, kkitab-kitab mengenai cerita-cerita pewayangan telah ditulis, karena pada masa itu. Raja-raja Kediri banyak memberi perhatian soal kesenian wayang dimana wayang telah menjadi wacana rohani dalam penyebaran agama Hindu.
Contoh dari kitab-kitab itu adalah;
a) Pada masa pemerintahan Empu Sendok (tahun 929-947 M) dibuatlah kitab Agastyaparwa.
b) Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa (tahun 991-1016M) muncullah Kitab Uttarakanda, kitab Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, dll.
c) Pada masa pemerintahan raja Airlangga (tahun 1019-1042) munculah kitab Arjuna Wiwaha ciptaan Epu Kanwa.
d) Sampai pada masa pemerintahan Raja Jayabaya (tahun 1135-1157) dengan adanya kitab Baratayudha, dll.
Sama halnya pada zaman Islam di Indonesia Wayang juga digunakan sebagai sarana untuk penyebaran agama, Mulai dari masa kerajaan Mataram Islam sampai masa Walisongo. Dari kesemuanya itu secara tidak langsung perkembangan wayang saat itu merupakan wujud inkulturasi antara budaya jawa, hindu dan Islam.
Berbeda dengan perkembangan Wayang pada masa sekarang yang hingga dalam penyajiannya sedikit mengalami pengurangan segi Spiritual yang pada masa lampau sangat diperhitungkan, meski begitu penyajian wayang dikemas lebih menarik dengan tujuan menambah minat penonton untuk menontonnnya, seperti misalnya Ki Manteb seorang dalang yang menyajikan pagelaran wayang dengan banyolan dan gaya lawaknya, begitu pula dengan dalang Sujiwo Tejo dan Ki Joko Edan. Walau tidak disangkal masih ada dalang yang menyajikan pagelaran wayang dalam kepakemannya misalnya K Timbul Hadiprayitno da Ki Anom Suroto yang nerupakan para Maestro dalam seni Wayang.
Dari Fenomena perubahan inilah perkembangan Wayang dari masa lampau hingga sekarang memunculkan beberapa perbedaan, perbedaan itu apat dilihat dalam bentuk penyajian dan kisah-kisah wayang itu sendiri, dimana hal itu merupakan sebuah jembatan yang dapat memunculkan konsep-konsep baru melalui berbagai wacana dalam realita kehidupan. Dan jembatan ini diharapkan ide-ide baru itu muncul dan mulai dituanglkan tanpa dibatasi oleh banyaknya media-media seni maupun diluar seni.
Contoh beberapa karya-karya seni yang merupakan ide-ide baru yang mengambil konsep-konsep wayang misalnya adalah karya seorang Kreografer yang memang tidak asing lagi didnia seni tari yaitu bapak Miroto dengan karya tari-tarinya yang berjudul Shadow Dance. Lalu karya Heru Dono yang telah membuat gubahan wayang yang memunculkan karakter baru dan masih banyak lagi karya-karya lain yang merupakan pemunculan ide-ide baru dari para pejuang seni lain. Demikian setidaknya ide-ide baru ini muncul yang merupakan penyajian wacana baru dari sebuah realita hidup dalam unsur-unsur sosial, unsur Politik, unsur Ekonomi, bahkan kesehatan, dll.

Seni Batik

Seni Batik

Seni bati memilki beragam motif, misalnya motif Jogja dan Solo yang kedeuanya menggunakan Ukel dan semen-semen. Perbedaannya pada warna motif, batik joga putih denga corak hitam, sedangkan batik solo kuning dengan corak tanpa putih. Motif flora dan fauna ada pada batik Pekalongan dan Pesisiran dengan warna yang lebih beragam. Sedangkan batik sodaragan yang lebih variatif dalam motif maupun warna, karena mempunyai sifat yang sangat bebas dan mengikuti selera pasar.
Dikraton jogja, busana kain batik yang dikenakan harus menyesuaikan dengan acara yang berswangkutan. Seperti upacara perkawinan, kain batik yang dikenakan harus bermotif SIDOMUKTi, sidoluhur, sidoasih, terubtum atau grompol. Sedangkan mitoni, kain batik yang dikenakan adalah motif picis ceplok Grudo, parang mangkoro, atau gringsing mangkoro.

Dalam proses pembuatan batik tulis dibutuhkan keselarasan seni dan kesabaran pembatik. Berawal dari selembar kain mori atau sutera digambar dulu dengan pensil. Setelah itu dilanjutkan dengan klowongan/ ngengreng kemudian isen-isen atau cecek. Setelah selai, tahap kedua adalah nerusi yaitu membatik pada sisi sebaliknya. Kemudian tahap nembok atau memblok untuk hasil warna putih dan coklat, tahap berikutnya adalah dicelup warna biru, setelah kering, nembok lagi untuk hasil warna putih dan hitam. Dan terakhir dicelup warna coklat/soga. Keseluruhan proses ini memakan waktu 1,5 bulan atau lebih.

Batik sebagai hasil karya seni yang adiluhung, sekarang ini mulai terjadi trend ditengah masyarakat, hal ini bisa dilihat dari beragamnya produk-produk yang menbggunakan motif batik, seperti tas, alas kaki (sandal), sarung bantal maupun gordyn. Bagi ibu GBRAY. Murdokusumo, selaku pengurus bati tamanan kraton, untuk melestarikan batik, generasi muda harus memulainya dari rasa cinta terhadap itu sendiri dan setelah itu baru akan muncul rasa andabeni (memilliki) dan akhirnya nguri-uri (melestarikan).

Kesadaran untuk melestarikan seni batik sudah mulai digalakkan. Untuk melstarikan motif kraton Jogja, maka dibentuklah nbati tamanan kraton yang khusus membatik motif kraton jogja. Dari hasil kerjasama berbagai pihak, sudah dipatenkan sekitar 260-an motif batik, termasuk didalamnya motif batik tamanan kraton Jogjakarta. Diharapkan langkah-langka ini bisa diteruskan, dengan harapan batik tidak nenjadi sebuah karya seni yang asing ditempatnya sendiri atau bahkan punah karena sudah tidak dicintai lagi.

Dikutip kembali, oleh Noverdiansyah S Hakim
Sumber, Jogja info & Guidance, edisi mei 2005 hal12

Museum batik dan Sulam Jogjakarta

Museum batik dan Sulam Jogjakarta

Batik sudah bosan dengan rutinitas dan ingi9n menikmati waktu luang anda? Isi waktu luang anda dengan kegiatan yang menambah wawasan. Berkunjung kemuseum misalnya. Darei sekian banyak museum dikota jogja, terdapat sebuah museum yang menarik, yakni museum dikota Jogja, yakni sebuah museum bati dan sulam yang sudah berdiri sejak 12 mei 1977. museum ini terletak di jalan Sutomo 13 A dan menempati Areal seluas 400 m2. bapak hadi Nugroho memprakarsai berdirinya museum ini. semula koleksi bati-batik yang ada adalah koleksi pribadi dan keluarga saja. Kebetulan eyang saya adalah pengusaha batik, kemudian menurun ke orang tua dan selanjutnyta saya” kata pak hadi lirih. Berawal dari kecintaan dan kepuduliannya, koleksi batik yang ada semakin bertambah banyak, karena beliau juga aktif berburu motif-motif batik yang langka.

Museum dibuka pada hari senin-sabtu pukul 9.00-15.00. berbagai koleksi batik, peralatan batik seperti aneka canting, 560 motif dari berbagai cap ragam hias/motif mulai dari abadke-4, sarung maupun kain panjang dapat anda nikmati. Anda juga bisa melihat koleksi batik tulis dari berbagai daerah seperti pekalongan, klaten maupun Jogjakarta. Koleksi tertua berupa kain panjang yang dibuat tahun 1780.

Pada areal yang sama anda juga dapat menjumpai koleksi sulaman atau bordir. Berawal dari hobi menggambar, ibu dewi nugroho mencoba menuangkan dalam metode sulam acak diatas kain strimin. Museum yang dibuka pada tanggal 12 mei 2001 ini mendapatkan penghargaan dari museum rekor Indonesia (MURI) sebagai pemarkarsa pendirian museum sulam pertama di Indonesia. MURI juga mencatat hasil karya ibu dewi yang berupa lukisan sulam terpanjang dengan ukuran 40x90 cm berjudul penyaliban tuhan Yesus, yang dikerjakan selam 3,5 tahun. Berbgai hasil sulaman acak karya ibu Dewi juga dipamerkan disini, dari foto diri ibu Dewi sampai foto-foto dari tokoh-tokoh terkenal dunia, misalnya sultan HB IX, Ronald Reagan dan lain-lain

Keberadaan museum ini hinga sekarang merupakan bentuk kepedulian bapak Hadi Nugroho dan ibu Dewi, meski tanpa subsidi dari pemerintah. Menjelang usia yang ke-28, museum batik dan sulam diharapkan bisa mulai berbenah diri karena sebuah museum sebagai salah salah satu sumber informasi tidak bisa berpenampilan seadanya.

Dikutip kembali, oleh Noverdiansyah S HakimSumber, Jogja info & Guidance, edisi mei 2005 hal11.

MENATA KEMBALI SENI KRIYA


MENATA KEMBALI SENI KRIYA
Dalam Kajian Historis Dan Estetik Melalui Pendekatan Multidisplin

Kalau kita melihat suatu kondisi buruk dan tidak baik, tidak ada perubahan, dan tidak menyenangkan, dan lain sebagainya, apa yang harus kita lakukan? Jawabnya adalah menata kembali, menyusun kembali. Apa-apa yang terjadi kesalahan dimasa lalu tidak terjadi dimasa sekarang ini dan tidak berlarut-larut, dan menjadi pengkristalan dan kemiskinan berpikir.

Menata kembali seni kriya bukanlah tugas yang ringan, bukan pula semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan analisa yang sangat tajam, berpikiran kritis, pembacaan secara menyeluruh, karena menata kembali menghasilkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Menata berasal dari kata “Tata” yang berarti menyusun untuk memperindah, untuk menarik intisari dari menata dalam tulisan ini adalah menyusun kembali untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan tidak terulang kejadian semula (baca; Perkembangan Seni Rupa Desain)

Sebagai perbandingan pengamat membuat suatu perbandingan kenapa seni rupa desain dan seni lukis bisa mengalami perkembangan yang sangat signifikan seperti sekarang ini, pengamat lebih memfokuskan untuk melakukan perbandingan yaitu seni lukis karena sangat dekat dengan seni kriya. Kemajuan seni lukis tidak terlepas dari pelaku seni/seniman, kurator, pangsa pasar atau yang sering dikenal dengan sebutan kolektor, ketiga aktor tersebut sangat berperan penting dalam perkembangan seni lukis di Indonesia (baca; Gerakan seni rupa Baru).

Kenapa pengamat membuat suatu persepsi meletakkan ketiga aktor tersebut dalam perkembangan seni lukis, karena meraka adalah organ yang selalu berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan, dan pengamat mengistilahkan dengan bahasa yang lebih umum mengambil suatu studi kasus adalah jam, anggap saja ketiga aktor tersebut adalah ketiga alat pemutar dalam jam tersebut, apabila dari organ tersebut itu tidak berjalan, bisa diambil kesimpulan jam tidak akan berjalan, begitu sebaliknya. Ketiga organ tersebut memainkan peran sama pentingnya, untuk menjalankan jam tersebut.

Pelaku seni yang lebih dikenal dengan Seniman, mereka yang mengekrpesikan ide kreatifitas mereka yang dituangkan dalam suatu media kanvas, apa yang terekam dari pikiran seniman ditranfer ke media kanvas. dari gejala-gejala yang terjadi disekitar seniman tersebut, proses kreatifnya tidak terlepas dari visual, tekstual dan kontekstual.

Kurator atau yang lebih dikenal dengan sebutan dengan pengamat seni, dialah yang mengemas tampilan visual, tekstual, dan kontekstual seniman, cara kerjanya ia mengadopsi dari proses kreatif seniman untuk disampaikan ke publik dalam suatu event pameran, baik dari kerjanya yang bersifat pasif maupun aktik, lisan ataupun tulisan, ia yang menyebarkan isu dan propaganda seniman baik dari media surat kabar, media elektronik, dan langsung disampaikan dihadapkan publik yaitu yang bersifat diskusi maupun seminar. Yang lebih hebatnya lagi kurator bisa menyetir si seniman, bahasa kurator lebih diakui ke publik dari senimannya sendiri, walaupun opini yang dibawa seniman berbeda yang dibawa oleh kurator.

Kolektor dalam arti kata koleksi, orang yang mengkoleksi suatu benda. Dari seniman, kurator sampai juga pada aktor yang ketiga yaitu kolektor, sebagai pemilik modal baik dari personal atau lembaga. Dari proses kreatif seniman dan dibaca oleh kurator akhirnya sampai juga ketangan kurator, ketika kolektor melihat karya tersebut itu baik, kolektor berlomba-lomba untuk mengucurkan dana untuk mendapatkan karya tersebut, kolektor juga mempunyai bergaining position yang sangat kuat pada perkembangan seni lukis Indonesia, ketika karya tersebut dibeli dengan harga yang sangat tinggi, maka nama seorang seniman tersebut akan terangkat, dampak negatif; perkembangan seni lukis bisa bisa dihambat oleh pemilik modal, dan disisi positif; pelaku seni akan berlomba-lomba untuk membuat proses kreatif yang baik agar diakui oleh pemilik modal (baca; Neo Imprealisme dan Kapiltalisme). Kolektor juga bisa juga bisa menetukan gaya seni yang potensial untuk sekarang ini, nama besar kolektor bisa mempengaruhi identitas seniman.




Formasi bagan diadopsi dari Altusser kemudian dimodifikasi oleh Du Gay kemudian dimodifikasi lagi menurut kebutuhan (baca; Culture Studies)





Dari penjelasan diatas, kita kembali kepada topik pembahasan awal. Sekarang kita bertanya kepada Seni Kriya apakah mereka mempunyai organ yang ada pada seni lukis, mari kita cek bersama! Pertama, Apakah Seni Kriya mempunyai seniman kriya? jawabnya Seni Kriya mempunyai seniman kriya, tetapi yang secara konsisten seniman seni kriya bisa dihitung. Seniman seni kriya yang sering tampil dalam event pameran, pemainnya adalah seniman yang sama. Kedua, apakah seni kriya mempunyai kurator? Jawabanya seni kriya mempunyai kurator, kasusnya sama dengan seniman kriya. Ketiga, apakah seni kriya mempunyai kolektor? Jawabnya seni kriya mempunyai kolektor, tetapi tidak jelas apakah secara konsisten kolektor kriya, apakah sang kolektor hanya tertarik pada karya seni kriya, untuk menambah koleksi karya seni kolektor.

Dari paparan diatas seni kriya belum mempunyai konstruksi organ, seperti yang dimiliki oleh seni lukis? Bisa dimaklumi, bahwa seni kriya pada saat sekarang berjalan ditempat, event pameran seni kriya dalam sangat minim. Hal itu sudah jelas dari paparan diatas, bagaimana seni kriya bisa mengadakan event pameran sesering seni lukis, karena seniman seni kriya sedikit. untuk penyebaran opini kepada masayarakat, kurator seni kriya bingung ingin menulis apa untuk opini, apakah yang harus ditulis mengenai kriya. Pameran seni kriya sangat minim, wajar saja wacana seni kriya sangat minim.

Dari masalah-masalah diatas, kita harus merevisi dan menata kembali seni kriya jangan dibiarkan berlarut-larut keadaan kriya seperti ini, ketika seni kriya ingin menata kembali atau merevitalisasi menjadikan lebih baik, pinjam dari kata pak Sumartono (baca; Revitalisasi seni kriya), organnya harus dibenahi dulu seperti Seniman, Kurator, dan kolektor. Ketika organ tersebut belum berjalan dan belum diatasi, jangan harap mau seni kriya akan berkembang. Ketiga aktor tersebut, seniman, kurator, dan kolektor merupakan pondasi untuk melangkah selanjutnya, ketika pondasi tersebut belum ada maka akan sulit melangkah selanjutnya, ketika dipaksakan untuk melangkah selanjutnya, seni kriya akan cepat goyah. Sebagai pertimbangan untuk menata kembali seni kriya sebagai support kita harus mempelajari historis dan estetis, karena seni kriya tidak lenyap ditelan zaman, sampai kapan seni kriya akan terus dibutuhkan.

Kajian historis dalam pembahasan ini adalah jalinan cerita yang sudah terjadi dimasa lampau, dan tertulis dalam suatu catatan tertentu yang berguna untuk kemajuan seni kriya, misalnya saja seni kriya merupakan seni rupa awal sebelum seni lukis masuk, seni kriya seumur dengan peradaban manusia, hal tersebut bisa dibuktikan peadaban manusia di wilayah Mesir dan Yunani sangat erat kaitannya dengan seni kriya, coba saja kita tengok dibangunan dan arsikterurnya, banyak terdapat ornamen salah satu karya seni kriya. Karya Seni Kriya merupakan karya adiluhung yang kaya akan khasanah kebudayaan dimiliki bangsa Indonesia, lihat saja batik, keris, dan wayang sudah diakui oleh dunia yang mempunyai sertifikasi ISO dunia.

Kajian estetis cakupannya luas, banyak menyamakkan dengan estetis keindahan dan filsafat keindahan, ada juga yang menyebut Estetika, tetapi dalam kajian ini lebih disepesifikkan, mengenai karya seni kriya kriya itu sendiri, karya seni kriya tidak terbatas baik dari bentuk maupun material yang dibutuhkan, coba saja kita bandingkan dengan seni lukis yang hanya terpaku pada kanvas pada bidang dunia demensi, sedangkan kalau dikaji kembali seni kriya mempunyai karya berbagai macam bentuknya dua dimensional dan tiga dimensional,material juga berbagai macam baik dari kayu, logam, tekstile, kulit, keramik, dan lain-lain. Secara gobal cakupannya seni kriya tanpa batas.

Perlu pengamat garis bawahi kembali, bahwa tulisan seni hanya rancangan global dan bukan pembenaran secara mutlak, yang mungkin banyak pemikiran tentang cara menata kembali seni kriya daripada tulisan ini. Kalau kita berbicara tentang pembenaran kita harus mengkaji lebih dalam lagi, bila perlu mengadakan penelitian tentang kajian ini. Tulisan ini hanya sebagai percikan api, untuk merespon teman-teman agar bisa menyadari fenomena yang kita hadapi. Tidak lupa, pengamat mengucapkan selamat berpameran, dari pameran ini mungkin saja berawal ketiga aktor diatas yang secara konsisten mempertahankan seni kriya.

Mau maju tak tak berani

Mau maju tak tak berani
M Zaini
Sampai kapan sikap itu menjadi dilematis atau bagian itu hanya dari ketidaktahuan ataupun sekedar ketidakpercayaan diri. Kita sering terbuai oleh sesuatu yang sudah tersaji tapi kadang tidak sadar bahwa ada sisi perubahan yang membawa kita ikut menggelinding jadi sinis. Berpulang pada konteks relasi berkriyaan yang jelas punya kaitan dikalahkan creator Institusi dan ruang lingkup masyarakat marilah kita tengok sejenak meneropong, sudah sampai dimana kriya yang menjunjung tinggi seni sebagai pentunjuk dan acuan apakah hanya sesuatu bayangan kilat melintas tanpa hasil yang perlu menjadi bahan wacana pemikiran.
Tujuan atau sasaran yang semu membayangi kita sehinga kemana arah kita, kita tau, teman-teman kriya seperjuangan, kita berkarya maksimal dan mencapai target yang kita inginkan dalam kreatifitas itu membuktikan langkah awal, bahwa kita mampu, tapi ditengah perjalanan itu kita harus menyeberangi jembatan penghubung. Kita bertanya apakah ini material yang kuat ataqu keropos, kita belum mencoba menjalaninya belum ada kode untuk memberi signal.
Mungkin diseberang sana memberi tempat/ peluang untuk kita. Akhirnya mari kita intropeksi. Buat apa sih kita berkarya: Jawabannya anda sudah pasti tau dengan persepsi yang berbeda, semoga ini menjadi proses menuju tangga yang lebih naik.

Kurangnya Pembinaan seni dan kreativitas pada usia dini.

Kurangnya Pembinaan seni dan kreativitas pada usia dini.
Renta Vulkanita

Psikologi modern beranggapan bahwa setiap orang telah dibekali kreativitas semenjak lahir. Beragam kadar kreativitas seseorang ditentukan oleh keadaan lingkungan tempat dia tinggal dan dibesarkan. Sehingga diakui adanya upaya untuk membina dan mengembangkan kreativitas tersebut. Melalui pendidikan seni, diharapkan dapat berguna untuk membinanya sejak lahir.
Pembinaan seni dan kreativitas sejak usia dini sudah banyak dibicarakan orang, tetapi tanpa memahami makna pendidikan seni sebagai cara dan sarana membina serta mengembangkan kreativitas sepertinya sia-sia. Hal ini terbukti bahwa dalam kenyataannya pendidikan seni di sekolah umum belum menempati kedudukan yang sepantasnya. Mengapa demikian? Karena kunci utama sesungguhnya terletak pada seni anak-anak yang masih asing bagi sebagian besar orang. Sudah cukup lama kita meninggalkan pandangan bahwa anak-anak bukanlah bentuk miniatur orang dewasa, tetapi mungkin belum menolak julukan buruk untuk anak yang tak berdosa itu dengan sebutan teribel, perusak, atau monyet yang berpura-pura dewasa.
Tak dikenalnya seni anak-anak akan menimbulkan kerugian kepada mereka dan juga kepada diri kita sendiri sesungguhnya. Gejela demikian pernah terjadi di Eropa Barat, diantaranya hasil penelitian di sekolah-sekolah dasar dinegeri Belanda pada tahun 1935 menunjukkan nilai mata pelajaran mengambar menjadi turun, padahal hasrat murid-murid untuk menggambar naik pada saat itu. Kasus serupa juga banyak terjadi ditempat kita. Tidak jarang anak menjadi kecewa saat secara tradisi mereka menuntut nilai setelah menggambar yang memuaskan tetapi justru yang didapat tidak sepadan dengan harapan meraka. Dapat dikatakan bahwa gejala itu menunjukkan ketidakmampun guru untuk membaca gambar hasil ciptaan, padahal ketiadaan pandangan yang benar dalam terbentuknya gambar anak-anak dapat menuju kepada pengarahan yang tidak benar dalam pelajaran menggambar ( Van Gelder & Van Praag, 1956 ).
Gejala demikian tidak hanya terjadi dalam menggambar, tetapi juga dalam seni yang lain dan sementara orang dewasa tidak menyadari kesalahannya. Semua itu terjadi karena seni anak-anak belum disadari kehadirannya oleh orang dewasa yang kemudian akibatnya tidak diakui keberadaannya. Kesalahan orang sesunguhnya tidak besar, tetapi akibatnya kepada perkembangan anak besar sekali. Mereka terutama para pendidik saat ini sulit untuk mencari bahan bacaan yang membahas seni anak-anak. Hambatan berikutnya terletak pada seni anak-anak sendiri. Seni anak-anak lahir dari anak-anak. Sedangkan masa anak-anak berkembang sangat singkat jika dibandingkan dengan puncak pencapaian usia rata-rata. Atau dengan kata lain masa anak-anak memiliki sifat keseniman hanya meliput seperdua waktu dari masa bersekolah di SD. Kenyataannya ini kurang mendapat perhatian kegiatan brmain di sekolah telah banyak tersita oleh mengajar yang lebih formal. Para guru lupa bahwa masa anak-anak adalah masa bermain, masa spontan memperoleh pengajaran yang banyak melalui bermain yang diantaranya secara formal belum layak diajarkan di sekolah, tetapi mereka peroleh melalui bermain, yang karenanya bermain dapatlah dianggap sebagai cara anak-anak mempersiapkan diri untuk mencapai kedewasaaan dengan cara spontan, bahkan melaui seni mereka. Kiranya tidak perlu takut akan kehilangan makna belajarnya jika para guru SD memberanikan diri ntuk menintegrasikan penyampaian berbagai mata pelajaran kepada anak-anak dengan kegiatan bermain atau kegiatan seni.
Selama ini anak-anak masih bagi kita orang dewasa, terutama bagi para guru SD, selama itu pula pendidikan seni yang demikian berharga itu akan tetap menempati posisi sebagai ganjal semata.

Kebobrokan seni kriya di Indonesia.

Kebobrokan seni kriya di Indonesia.
Noverdiansyah

Kondisi kriya di Indonesia sekarang penuh dengan perdebatan yang tak ada habisnya, diantara telah menjadi tradisi dan yang lainnya telah mecapai puncak klasik(seni yang tidak bisa dikembangkan lagi). kalau kita melihat Eropa Barat kriya mengalami lompatan yang dashyat sejak bergulirnya faham Antroposentrisme dengan berbagai temuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Didukung dengan perkembangan teknik kriya, Guilde-Guilde art and Crafts: memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. Walaupun hal tersebut mendapat kritik tajam karena dianggap memunculkan korban disi kemanusiaan ditengah kemajuan massa industri modern.
Sedangkan di Indonesia sendiri, perkembangan kriya tidak lepas dengan budaya bangsa, berlangsung sejak zaman prasejarah, dengan masuknya agama hindu dan Islam. Dan mencapai kemacetan sebagai akibat adanya kejenuhan pola pikir ketimuran, kurangnya pemikiran untuk mencari kriya yang baru sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Kriya kehilangan jati dirinya sehingga terbagi-bagi, seperti seni bangunan (arsitekture), seni arca (patung), seni menggambar (seni lukis), dan seni design (produk). Perlu diakui bahwa kriya adalah akar seni rupa, tentu berbeda dengan keadaan sekarang ini, keadaannya malah terbalik.
Coba kita lihat sebuah contoh kasus, yang mungkin sangat berguna untuk kriya. Pada masa Renaissance ke-16 di Italia, masa pencerahan masyarakat homogen kristen Barat setelah kemacetan budaya pikir pada abad tengah (dikenal sebagai abad kegelapan). Terobosan ini ditandai upaya menyambung kembali kebudayaan Barat yang macet selama 2000 tahun, dengan menggali menggali kebudayaan Yunani kuno berkembang pada 500 tahun sebelum Masehi. Berkat pemikiran para Filosof-filosof Eropa, makanya kesenian “Fine Art”diEropa berkembang sampai sekarang yang mengacu kepada kesenian tradisional/budaya, bahkan menjadi acuan untuk perkembangan seni yang lainnya “Senento Yuliaman, Dua Seni Rupa”.
Seni kriya pernah mencapai seni yang adiluhung, seni yang paling tinggi “Culture High Art” pada masa kebudayaan Jawa, adiluhung diistilahkan Kagunan, berasal dari kata “guna” yang diuraikan:watak, keahlian, kelebihan, hasil yang berfaedah, hasil yang bergun. Sementara defenisi kagunan diuraikan sebagai; 1) kepinteran 2) jejasan ingkang adipeni 3) Wudaring Pambudi nganakake kaendahan (gegambaran, kidung ngukir-ukir). Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah 1) kepandaian/ kecerdasan/ Intelektualitas 2) pekerjaan yang berguna dan berfaedah, 3) pencurahan akal budi melalu pengungkapan rasa keindahan (pengembaraan, pengubahan dan perupaan) “Baoesastra Jawa. W.J.S Pigeaud, Th (et al.) J.B. Wolters, Groningen-Batavia, 1939”. pada abad 10 ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia itu bisa dilihat dari bangunan candi-candi yang diterapkan ukiran ornamen, yang mencapai masa keemasan Kriya pada kebesaran raja-raja Hindu-Budha di Jawa Tengah, yang paling menonjol dari bangunan tersebut candi Borobudur dan Candi Prambanan “Drs. Sujawi Bastomi Seni Ukir”. Karena tidak ada kajian oleh pemikir-pemikir orang Indonesia lebih lanjut mengenai kesenian adiluhung “Culture High Art” pada waktu, makanya keseniannya menjadi macet dan tidak berkembang.
Mungkin berbeda kalau Culture High Art di Indonesia dikaji kembali seperti zaman Renaiccanse, setidaknya membawa perubahan pada masa itu sampai pada masa sekarang ini. Untuk sekarang sekarang ini mengapa kriya penuh perdebatan yang sengit, terjadi pergeseran makna mengenai kriya itu sendiri, kriya mulai distilahkan karya seni yang yang dapat dikategorikan, sebagai karya yang dibuat berdasarkan alasan mencari keuntungan atau persaingan Ekonomi dalam kondisi kepepeet dengan mengesampingkan standar-standar estetik, memuaskan kebutuhan konsumen menjadi lebih penting daripada untuk menyenangkan senimannya “Nelson H.H Groborn, Tourist Arts atau Airport Art” .
Mungkin hal tersebut bisa diterima, karena istilah tersebut sangat dekat dengan kriya, maka kriya diasumsikan sebagai kerajinan. Kurangnya perhatian dari seniman kriya sendiri, untuk menjelaskan bahwa kriya bukan sebatas kerajinan, tetapi ada kriya yang berwujud seni. Makanya persepsi untuk kriya wajar kalau banyak anggapan orang bahwa kriya bukan seni rupa, karena seni mengikuti zaman, makanya konteks seni terus berubah sesuai keadaan zaman tersebut.
Kesalahan yang mendasar dihadapi kriya saat ini, mereka berpedoman pada sejarah (zaman klasik) dan tidak adanya pengkajian ulang mengenai sejarah tersebut hanya menerima sumber yang ada , perkembangan seni murni pada saat ini luar biasa perkembangannya, hal tersebut tidak pernah disadari oleh kriya malah dilakukan terus-menerus. dalam sepilihan tulisan Senento Yuliman yang mengatakan bahwa sudah lama berakhir tradisi adiluhung “High Art” karena arus Westernisasi dan Modernisasi, penomena inilah yang harus kita cari solusinya, supaya karya adiluhung bisa terangkat kembali.
Kesalahan yang lainnya kriya selama ini tidak mau terbuka diri secara Global menerima apa-apa yang berguna untuk kemajuan kriya, malah yang signifikan kriya menutup diri dan mempertahankan persepsinya. Ditambah lagi kurangnya pameran kriya baik yang berskala kecil dan berskala besar, dalam pameran pun kriya lupa, apa yang menjadi pemikiran mereka dalam pameran tersebut, yang ada Cuma pameran kriya merayakan saja pameran tersebut, karena tidak didukung wacana yang jelas. Mungkin kita bisa mencontoh gerakan seni rupa baru yang dipelopori oleh Jim sumpangkat pada tahun 1970-1980 dengan keseimbangan antara kriya dan wacana, sehinggga menjadi sejarah yang luar biasa. Setidaknya kita sedikit bisa belajar dari sana, untuk mengatasi polemik-polemik yang terjadi sekarang ini di kriya, tapi kenyataan kriya sendiri malah berat sebelah, tidak terjadi keseimbangan ketika kriya menggelar pameran, pameran yang digelar sering tidak didukung dengan wacana yang kuat, jadinya pameran tersebut tidak berisi, ketika ada wacana tentang kriya, tidak diimbangi dengan kriya, jadi wacana tersebut menjadi omong kosong yang tidak berarti.

KRIYA ‘’99 MEMBUKA CELAH BARU

KRIYA ‘’99 MEMBUKA CELAH BARU
Oleh : Astab Justiwiasro

Rendahnya frekuensi pameran seni kriya membuat seni kriya itu sendiri kurang dikenal oleh masyarakat, hanya sebagian kecil saja yang mengenal seni kriya daripada seni kerajinan yang notabenenya seni kerajinan adalah bagian dari seni kriya. Seni kriya dikenal masih pada kalangan tertentu yang kesehariannya bergerak di bidang seni saja.
Sedikitnya para kriyawan yang tergerak hati dan terus berjuang mengangkat bendera seni kriya tinggi-tinggi di kancah dunia seni rupa Indonesia. Ditambah lagi rendahnya minat untuk menulis dari kriyawan itu sendiri menjadikan wacana-wacana seni kriya tidak berkembang sehingga publik kurang merespon hadirnya karya-karya seni kriya, sehingga komunikasi dua arah yang seharusnya terjadi, disini tidak terjadi. Sebenarnya semua hasil seni apapun akan selalu dihadirkan dan dikomunikasikan dengan publik, mau kepada siapa pun hasil karya seni tersebut dikonsumsikan dan komunikasi dua arah dapat dicapai dengan sendirinya. Ditambah lagi dukungan dari media masa, sehingga wacana seni kriya bisa lebih berkembang lagi. Apabila para kriyawan sadar akan budaya untuk menulis dan lebih membangun dan mengembangkan wacana seni kriya dapat dipastikan seni kriya sebagai alternatif media yang belum banyak dikaji akan sering dikaji dan di diskusikan oleh kalangan seni sehingga seni kriya dapat terangkat pada posisi yang lebih baik di kancah percaturan dunia seni rupa Indonesia.
Berkembanganya seni kriya tidak luput dari peran serta para kritikus, namun kaum kritikus seperti menjaga gengsinya ketika ia mengkritik karya-karya kriya yang mereka anggap seni kriya itu termasuk Low Culture (seni rendah) yang tidak merepresentasikan kelompok elite, borjuis. Mereka lebih senang mengkritik karya seni lukis maupun seni patung yang mereka anggap sebagai High culture (seni tinggi) yang banyak mewakili tradsi fine art. Ketika kritikus angkat bicara untuk publik di depannya dan menunjukkan pada karya dibelakangnya sering kali secara persuasif karena sulit diterima oleh publik. Pendeknya tugas kritikus adalah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi bagaimanapun sangat berharga bagi seniman itu sendiri maupun publik.
Tulisan ini mencoba meraba-raba dengan pasti dimana letak permasalahan dari seni kriya yang sepertinya belum ada cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahn yang terjadi pada seni kriya. Hal ini berangkat dari ketidakjelasan pengertian istilah kriya atau kria itu sendiri yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam pameran kali ini istilah kriya didekatkan dengan istilah kontemporer, menjadi “kriya kontemporer”, penambahan istilah kontemporer ini bertujuan menunjukan pada kecenderungan terakhir dari wilayah kriya.
Pameran kali ini mengangkat tema Paradoksal Fatamorgana, ketiga kriyawan muda adalah Sarjiyanto, Kuswandi, Aji Wiyoko ingin memberi gambaran bawasannya sesuatu yang khayal atau mimpi-mimpi yang sulit dicapai itu yang sebenarnya bisa digapai dan diraih walaupun disana-sini banyak pertentangan antara jalur akedemik maupun non akedemik yang keduanya memegang teguh pendirianya masing-masing didalam mencari suatu kebenaran. Dengan semangat dan keberanian ketiga kriyawan muda ini yang masih duduk manis bersama teman-temannya dalam menutut ilmu di Institut Seni Indonesia Angkatan ’99 terus mengolah daya kreatifitasnya di dalam mengungkapkan gagasan dan ide-ide gila mereka melalui media seni kriya yang mereka kuasai, baik yang didapat di jalur akademik maupun jalur non akedemik.
Gebrakan dari ketiga kriyawan yang gagah berani ini mencoba untuk merubah wajah kriya yang nilai kemurniannya tidak terasa lagi patut kita dukung selalu Kesejajaran itu dapat tercapai karena perbedaan yang mencolok tersebut tidak ada lagi sangat tipis dan transparan. Untuk ketiga kriyawan jangan pernah berhenti terus berkarya dan karya kriya. Selamat berpameran terus berjuang menuntut kesejajaran. Mari terus ber-KRIYA.







Ekspresi dalam Seni Kriya

Ekpresi dalam seni kriya
Oleh, Drs. Rispul

Membicarakan masalah ekpresi dalam seni kriya dalam perwujudannya tidak secara spontan seperti halnya dalam lukisan, namun sangat terkait dengan pengusaan teknik dan media ekpresi itu sendiri. Seni kriya sebagai media ekpresi dalam perkembangannya sejalan dengan arus kemajuan jaman, mengingat konsep dasar yang melandasi penciptaannya, salah satunya adalah untuk memenuhi dan kepuasaan batin manusia.
Seni kriya sebagai media ekpresi perkembangannya mempunyai ruang lingkup yang terbuka, kebebasan, keluasaan sesuai dengan cita rasa, kemampuan teknik, pengalaman estetis dan kedalaman ekpresi dari masing-masing seniamannya. Dari sekian banyak bahan yang menjadi pilihan seperti kayu, logam, tanah liat, kulit, dan serat para kriyawan dapat memanfaatkan sesuai dengan kemampuannya dalam memahami sifat-sifat dan karakter bahan, juga kemauan dan kemampuan skill yang dimilikinya. Penggarapan tema pada seni kriya sangat bebas dalam memanfaatkan unsur-unsur tradisi untuk diolah dan disesuaikan dengan nuansa yang berkembang dewasa ini, yang memberi kebebasan berfikir, menangkap fenomena-fenomena dalam diri maupiun lingkungan untuk diekpresikan. Sebagian para kriyawan mencari bentuk-bentuk baru sebagai ungkapan ekpresikan. Sebagai para kriyawan mencari bentuk-bentuk baru sebagai ungkapan ekpresi pribadi dalam berkarya.
Konsep kriya ekpresi masih perlu dihayati lebih dalam. Kriya ekpresi adalah bentuk kriya masa kini dimana kriyawan cenderung meniru atau menyimpang dari norma tradisi yang berlaku (SP. Gustami, 1991:183), atau secara sederhana menjadikan karya kriya itu kreatif, tidak sekedar pengulangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Yang memperlihatkan bahwa ciri utama dari bentuk kriya ekpresi adalah bentuknya yang kreatif, menyimpang dari bentuk yang sudah ada, dalam arti mencari bentuk-bentuk baru. Hal ini sesuai dengan ungkapan Soedarso Sp. Bahwa: seni modern justru mengjar novelty, mengejar yang baru, yang lain dari pada lain. Horizon seni modern tidak kenal batas, kecuali batas kemampuan imajinasi senimannya. Standarnyapun selalu goyah, berubah terus,m sehingga apa yang sudah kita kenal pada suatu saat bisa saja tidak mungkin diterapkan ntuk menyiasati seni yang baru (Soedarso SP, 1990:79).
Melihat seni kriya yang berkembang sekarang, kriyawan selain menciptakan karya yang mempunyai fungsi (karya fungsional), juga menciptakan karya-karya yang lebih menekankan pada kreativitas dan bebas untuk berkpresi mengungkapkan ide-ide yang bersifat Invidualistic. Dengan adanya teknik seni kriya yang sangat rumit dan membutuhkan ketelatenan, kesabaran, maka ekpresi dalam seni kriya tidaklah dapat serta merta begitu saja keluar dan diwujudkan dengan cepat seperti halnya ekpresi dalam melukis, tetapi ungkapan ekpresi itu ditata, diatur sedemikian rupa sehingga menjadi ungkapan ekpresi yang mempunyai getaran halus.
Untuk melihat posisi seni kriya yang berorentasi pada ekpresi dapat dilihat dalam skema yang dikemukakan oleh SP. Gustami dibawah ini:

Diagram diatas menunjukkan usaha baru untuk pemisahan bidang seni kriya, yakni seni kriya yang menekankan segi-segi ekpresi terpisah dengan seni kriya yang lebih berorientasi pada pemenuhan fungsi praktis dalam terminologi seni kerajianan (SP. Gustami, 2003:92). Seni kriyqa yang dalam penciptaanya lebih menekankan ekpresi pribadi akan mengarah pada seni murni yang lebih memperhatikan kidah-kaidah seni rupa modern, sedangkan seni kerajinan dalam penciptaannya lebih mempertimbangkanaspek-aspek desain melalui pemikiran rasional fungsional.
Pada prinsipnya dalam seni kriya bukan merupakan keterpisahan antara pemikiran rasional dengan ekpresi estetik melainkan, luluhnya karya cipta yang berbasis pada pemikiran praktis dan kepekaan ekpresi artistiuk dalam suatu kesatuan yang utuh dan padu (Sp. Gustami, 2003:93).
Kaitannya dengan karya kriya fungsional, dengan mengutip Viktor Papanek, Soedarso Sp. Menulis dalam katalog pameran kriya seni 2000, bahwa fungsi ang luas itu menyangkut pula estetika, tentunya continuities akan ada terus kalau saja cita-cita atau pandangan keindahan pun tidak berubah. Seperti diketahui dalam rangka menyelamatkan slogan “Form follows function” yang terkenal, viktor memasukkan enam unsur dalam fungsi, yaitu use, need, method, telesis, aesthetich da assocation ( Soedarso Sp, 2000:34). Dapat dilihat pada gambar/ diagram dibawah ini:

Gambar/diagrama diatas dapat dijelaskan bahwa dalam menciptakan produk yang fungsional harus memperhatikan keenam unsur tersebut pertama, Method yaitu interaksi antara alat proses dan bahan, penggunaan bahan secara jujur seperti apa adanya, bahan dan alat digunakan secara optimal adalah metode yang baik.
Kedua, Use yaitu kegunaan harus sesuai dengan fungsinya. Ketiga, Need yaitu kebutuhan sesuai dengan keinginan setepat dan seefisien mungkin. Keempat, Telesisi yaitu kandungan dari sebuah disain yang berkaitan dengan cerminan kondisi alam sosial masyarakat dan sejalan dengan tatanan umum diamana ia harus beroperasi. Kelima, assocation yaitu pengkondisian psikologis kita yang berhubungan dengan bentuk. Keenam, Aethetics yaitu yang indah di dalam selera dan seni, sebuah alat untuk membantu mewujudkan bentuk dan warna yang menyenangkan, indah, menarik, penuh kegembiraan, dan bermakna karena tidak ada tolak ukur yang mudah bagi analisis estetika, hal ini dianggap sebagai ekpresi pribadi.
Perjalanan panjang seni kriya dalam kelangsungan dan perubahannya telah banyak dipengaruhi berbagai faktor baik pekatnya latar belakang sejarah, luasnya pengalaman teknis dan estetik dan kuatnya interaksi sosial pendukungnya yang sangat berarti bagi perkembangannya. Kemudian But Muchtar memberikan uraiannya bahwa pada saat sekarang, seni kriya telah memasuki babak baru yakni dengan terjadinya pembagian kriya seperti diuraikan sebagai berikut:
Pada saat ini terdapat dua kategori kriya: yang pertama adalah yang tetap mempertahankan pengertian konvensional, yaitu kriya sebagai objek untuk keperluan sehari-hari. Para kriyawan kategori ini dengan tekun dan gigih terus mengerjakan barang sebagaimana diwarisi dari leluhur. Ada diantara mereka yang tanpa perubahan sedikitpun, dan ada pula yang vberusaha mengembangkannya menjadi lebih bermutu, tergantng dari situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kategori yang kedua adalah yang melihat kriya sebagai objek untuk menekankan ekpresi pribadi, sehingga para pembuatnya menemakan dirinya seniman kriya (But Muchtar, 1991:3).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa seni kriya terdapat dua subtansi dasar. Pada satu sisi seni kriya dapat menjadi seni tunggal (murni) yang mempumyai muatan ekpresi penciptanya, pada sisi lain dapat menjadi pula seni terap. Namun dalam mengungkapkan ekdpresi terikat oleh bahan dan teknik dalam seni kriya itu sendiri. Dari sini tampak bahwa seni kriya lebih memilki tingkat kompromis yang tinggi terhadap permasalahan-permasalahan yang rill yang dihadapinya senimannya, yaitu tuntutan material, teknik, keterdesakan ekonomis di satu sisi dan kesediaannya memberikan sarana penyaluran ide, gagasan, ispirasi dan ekpresi disisi lain. Dengan demikian seni kriya funsional tetap hidup subur karena memiliki multi fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan seni kriya yang menekankan ekpresi mestinya selalu menata posisinya dengan konsep-konsep penciptaan lebih reprentatif dan dapat dipertanggung jawabkan. Kelebihan inilah yang tampaknya telah membuat eksistensi seni kriya semakin kuat dimasyarakat.

Daftar pustaka
But Muchtar, 1991, “Daya Cipta Di Bidang Kriya”. Seni, Jurnal Pengetahuan dan penciptaan seni, 1/03, Oktober, BP ISI Yogyakarta

Soedarso Sp, 2000 Seni Kriya ISI Yogyakarta Mengantisipasi Masa Depan, Dalam Katalog Pameran Kriya Seni Seni 2000, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

......................, 1990, Tinjauan seni, sebuah Pengantar ntuk apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.

Sp. Gustami, 2003, “ spercik pemikiran pendidikan kriya Di Indonesia”

Batik da Politik

Batik dan Politik
Perubahan zaman dari pemerintahan kerajaan ke pemerintahan republik, berdampak terhadap salah satu fungsi awal konsep penciptaan dan penerapan batik dalam. Kehidupan sosial budaya masyarakat, khususnya di Jawa. Sebagai sebuah hasil kebudayaan, batik tentu tidak terlepas dari aspek simbolisasi tentang suatu makna dan Interpretasi. Penerapan motif selalu dikonsep dan disesuaikan dengan keperluan atau fungsinya, ada fenomena pergeseran konsep yang terjadi dalam penerapan motif batik pada era Orde Baru, dengan digunakannya motif batik sebagai media politik untuk sebuah tujuan dan "misi khusus" didalamnva.
Perubahan era pemerintahan berbanding lurus dengan pergeseran permaknaan dalam penggunaan, atribut dam simbol, ini selalu disesuaikan dengan kepentingan sebuah, pemerintahan baru. Herusatoto (2003) menegaskan, bahwa daya simbolis sebuah simbol dapat berlangsung dalam waktu tertentu, dan dapat dimunculkan kembali manakala diperlukan. Aspek simbolisasi dalam motif batik sebagai sebuah harapan dan makna luhur, secara sengaja digeser ke dalam lingkaran kepentingan politik penguasa, dalam rangka untuk memperkokoh kekuasaannya. Penggunaan motif batik dalam politik, menurut dugaan penulis disebabkan oleh kuatnya eksistensi seni batik itu sendiri dalam konstelasi kebudayaan indonesia.
Penggunaan batik sebagai media politik pada era Orde Baru, salah satunya bisa dicermati dengan diwajibkannva seragam Korpri bagi para Pegawai Negeri Sipil. Batik digunakan sebagai seragam Pegawai Negeri Sipil, sejauh hanya bertujuan untuk konservasi sebuah hasil budaya belaka, barangkali sah‑sah saja selama tidak ada sebuah "misi khusus" yang melatar belakanginya. Seragam sendiri memang berkonotasi "penyeragaman", ini cenderung "ditradisikan" pada Era Orde baru yang bersifat Jawa Sentris. Penerapan motif batik pada seragam Korpri ini kalau. Dicermati secara seksama, ternyata merupakan sebuah sarana Propaganda yang halus dan tersamar sebagai penguat kekuasaan pemerintahan Orde Baru., Pegawai Negeri Sipil sebagai golongan yang identik dengan kepatuhan pada penguasa, merupakan sebuah alat dan motor penggerak yang relatif mudah dikontrol, sebagai salah satu komponen pendukungnya.
Motif yang diterapkan pada seragam Korpri tersebut, tak lain adalah penggunaan motif ‑ motif sarat makna vang diadopsi dari zaman kerajaan, diubah sedemikian rupa sehingga ada sebuah tafsiran. "khusus" tentang makna motif tersebut. Penerapan Simbolisasi pohon hayat yang distilisasi sedemikian rupa unsur motif yang sangat asosiasi masyarakat tentang lambang sebuah parpol, yang digunakan sebagai kendaraan. Politik orde baru pada waktu itu. Penerapan motif batik pada seragam Korpri bagi Pegawai Negeri Sipil, faktanya memang mempunyai implikasi lain dan sekedar sebuah pakaian seragam.
Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi negara dan aparatur pemerintah, menjadi sebuah sarana Propaganda politik yang cukup efektif, walaupun hanya. Sekedar lewat motif batik yang diterapkan dalam seragam Korpri yang dikenakannya. Ini berlangsung secara sadar atau tidak, manakala para Pegawai Negeri Sipil sedang berinteraksi dengan masyarakat secara luas ketika menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Dalam interaksinya tersebut, otomatis penggunaan seragam Korpri, mampu menimbulkan kesan dan opini yang kuat bagi masyarakat luas, termasuk didalam lingkungan keluarganya sendiri.
Seperti
dalam masyarakat hierarkis masa kerajaan‑kerajaan agraris lama, posisi pegawai negeri ditentukan oleh jaringan-­jaringan yang mengaitkannya. Baik dengan atasan maupun dengan bawahannya. Salah satu kunci sistem kepegawaian itu adalah apa yang disebut asas kekeluargaan, contohnya pada perkumpulan Dharma Wanita yang mencerminkan hierarkis jabatan itu, atau distilahkan sebagai paternalisme atau bapakisme (lombard, 2000 80). Hal ini dipahami dan dimanfaatkan betul pada masa orde baru dalam melaksanakan tujuan‑tujuan politiknva.
Dinamika perjalanan seni batik sebagai sebuah hasil kebudayaaan, ternyata sering bersinggungan dengan beberapa aspek yang menyertainya, penggunaan sebuali simbol dan atribut dalam kehidupan masyarakat, barangkali memang sudah jauh dikonsep sejak awal diciptakannya. Pergeseran sebuah simbolisasi, otomatis terjadi ketika dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu, konsep awal ketika sebuah budaya pertama kali diciptakan, ternyata dapat berubah serta dapat melenceng jauh dari konsep dan tujuan semula.
Sebagai penutup bisa ditambahkan, bahwa sejak kejatuhan era Orde Baru, fenomena penggunaan. Batik sebagai seragam Pegawai Negeri Sipil muncul kembali pada era reformasi. Sejauh pengamatan penulis, fenomena tersebut hanya bertujuan untuk melestarikan batik sebagai salah. Satu hasil budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, tanpa mempunyai tujuan, maksud dan interpretasi khusus. Mudah‑mudahan pada masa selanjutnya, eksistensi batik sebagai hasil. Budaya adiluhung dengan kandungan makna, Harapan dan tuntunan hidup yang 1uhur, dapat. terjaga dari pencemaran kepentingan politik golongan atau individu, yang cenderung merusak pamor dan citra seni batik itu sendiri.













14 June 2007

Bangkitlah Kriya

Bangkitlah Kriya
Oleh, Noverdiansyah

Entah, Sudah Berapa Lama Seni Kriya, Sudah Berapa Lama
Kita Senantiasa Diam, Senantiasa Diam
Terkadang Campur Aduk Pengertian Apa Ini Kebijaksanaan Atau Penyerahan
Hatipun Bertambah Sakit Dan Sakit
Jiwa Bertambah Tersiksa Dan Tersiksa Bahwa Kriya Sebagai Akar Seni Rupa
Yang Punya Kiblat Sejarah Seni Rupa
Semacam Tersisih Tak Punya Arti Apa-Apa
Kita Adalah Seni Kriya Yang Diejek
Diatasa Tulisan Dan Karya
Dalam Slogan Dan Semboyan Menipu
Dalam Coreng Moreng Tulisan Dan Sikap
Dan Kita Harus Diam, Harus Membungkam
Pemetakan Telah Menawarkan Tekanan Dan Pemerasan
Apakah Arti Yang Murni Dari Kejahatan
Bila Sejarah Diputar Balikan
Ditegakan Sendiri Kesimpiulan-Kesimpulan Subjektif
Tanpa Mata Tanpa Hati
Kemudian Dipaksakan Tanpa Malu
Seolah Sejarah Kriya Tidak Berlaku
Tanpa Protes Tanpa Tantangan
Hakerkat Manusia Telah Diperkosa
Pribadi Akan Dihancurkan
Jiwa Akan Dibinasakan
Tetapi Hati Nurani, Hati Nurani Ini
Yang Terlalu Dinjak-Injak
Meledak-Meledaklah
Maka Pecahlah Kaca-Kaca Jendela
Gedung-Gedung Runtuh Porak Poranda
Api Menjalar Diangkasa
Tembok-Tembok Penuh Dengan Kata
Tak Bisa Diancam Dengan Kekerasan
Tak Bisa Ditipu Dengan Semboyan
Hati Nurani Yang Mewakili Kebenaran
Tetap Menuju Sasaran
Biar Maut Menghadang Dimoncong Bedil
Didalam Meriam Panser Dan Tank Baja
Dimata Bayonet Dan Kelewang
Dibalik Barikade Dan Kawat Berduri
Tak Ada Yang Kuasa Menundukkkan
Tak Ada Yang Bisa Membinasakan

Polisi dan Uang

Polisi Dan Uang
Noverdiansyah

Pagi jam 7.00 tanggal 20 desember 2006 diperempatan lampu merah patang puluhan, saya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tepatnya diperempatan lampu merah patangpuluhan, saya datangnya dari selatan jl. Bugisan dan ingin belok ke barat daerah JL Patangpuluhan, belok kekiri harus mengikuti lampu hijau, pada waktu itu posisi saya ingin cepat dan keburu-buru saya mengambil data ditempat teman didaerah JL Nitipuran, saya tidak memerdulikan rambu-rambu yang ada, tak tahu dibelok ada seorang polisi, kontan saja saya distopin dan motor saya dipinggirkan. Pada waktu itu pak polisinya langsung menanyakan surat-suratnya, sebut saja Polisi B yang menanyakanku tadi. kebenaran yang ada hanya STNK dan SIM saya hilang akibat gempa yang terjadi 27 mei silam, kost saya keambrukan. Tak beberapa lama polisi untuk masuk ke pos polisi untuk menyelesaikan masalah atas kesalahanku.

Setelah polisi B membacakan kesalahan, saya bercerita kenapa saya tidak mempunyai sim kendaraaan bermotor, saya dalah korban gempa 27 mei 2006 beberapa waktu yang silam. Untung saja motor saya masih bisa diselamatkan dan SIM saya entah kemana berserta barang-barang yang lainnya.

Yang saya heran adalah polisi B tidak ada rasa simpatik dan moral sedkitpun terhadap saya. Polisi B menjawab dengan entengnya; itu urusan anda”!! Bukan anda sendiri yang terkena musibah tersebut, masih banyak orang kena musibah tersebut” begitu katanya”. Saya berkata dalam hati”! kalau polisi berada diposisi saya, saya rasa rasa polisi tidak layak berkata begitu. Saya melakukan kesalahan tersebut bukan saya sengaja, situasi yang tidak menguntungkan pada saya, karena saya terburu-buru.

Polisi B langsung menjatuhkan tilang pengadilan, dan waktu saya meminta kebijaksanaannya, polisi tetap pada pendiriannnya, dalam pikiran saya berkata”; polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat dan melindungi masyarakat, tidak sesuai dengan standar perbuatannya, dimana rasa simpati dan moral ketika masyarakat berada kondisi yang menguntungkan” seperti saya ini” serharusnya mengerti”?.
Polisi B, langsung membuat surat tilang pengadilan dan saya. Saya hanya terdiam melihat semua itu, dan saya saya menerima apa adanya. Polisi B memberikan surat tilang kepada saya, pada waktu itu saya hanya diam saja, surat tilang tidak saya ambil, saya hanya diam didalam pos polisi itu, polisi B meningalan dalam pos polisi. Saya tdak mau pergi dalam pos tersebut kalau belum selesai urusannya. Saya dam saja tidak mau pergi dari pos polisi tersebut. Wajah saya pada waktu itu termenung dan membisu”.

Untung saja dalam keadaan saya seperti tu masih ada yang peduli dengan saya, sebut saja namanya polisi polisi H. polisi H tersebut bias dikatakan ketua dalam pos polisi bangjo Patangpuluhan. Dia langsung menanyakan”? kenapa dik”! adik maunya gimana? Dengan sopan Polisi H menanyain saya”. Tidak seperti polisi B. setelah berkomunikasi, polisi H dengan saya. Terjadi kesepakatan akhirnya damai. Saya mengelus napas lega, tidak jadi kepersidangan yang menjadi panjang persoalan dan membayar sejumlah uang dalam ketentuan yang saya langgar.

Pertanyaan pertama, kenapa poisi selealu diindentikkn dengan uang, ketika masyarakat melakukan kesalahan dalam pelanggaran lalu lintas, kenapa selalu dengan uang untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak ada cara lain yang lebih sopan, apakah tidak ada rasa simpatik dan moral yang dimiliki oknum polisi B. Uang..uang… sudah melekat dengan kepolisian yang beredar dimasyarakat ketika melanggar rambu-rambu lalu lintas. Image sudah sangat melekat dengan kepolisian. Saya meminta segenap jajaran kepolisian bisa berpikir. Seperti dalam visi misinya mengayomi masyarakat dan melindungi masyarakat, saya rasa itu hanya teori tidak sesuai dengan praktek dilapangan.

Kedua, Seharusnya polisi B mengerti dengan kondisi yang saya alami, dan tidak memvonis saya seperti yang saya utarakan, saya bukan tidak punya SIM tetapi SIM saya hilang waktu gempa, untuk membuat SIM lagi, saya tidak punya KTP Jogja untuk membuatnya di Jogja. Kebenaran saya asli sumatera, untuk membuat SIMnya harus di Sumatera. Seharusnya polisi B mengerti.
Saya mengucapkan terima dengan polisi H telah berbaik hati dengan saya, yang mengerti kondisi saya, saya berjanji akan membuat SIM secepatnya kalau hal tersebut memang keharusan.






Reformasi Seni Kriya

Reformasi Seni Kriya
Noverdiansyah

Perbedaan Seni Kriya dan Kerajinan kecil sekali yang membedakannya, hal tersebut sudah mutlak karena Seni Kriya dan Kerajinan ada kaitanya secara langsung. Seni kriya mengutamakan inovasi bentuk dalam pembuatan produk atau benda fungsional (misalnya Asbak Rokok yang diberi bentuk beda dari asbak rokoknya lainnya), sedangkan kerajinan mengutamakan pengulangan bentuk dalam pembuatan produk atau benda fungsional (misalnya asbak rokok menampilkan bentuk yang sederhana yang tidak berubah sejak dahulu).
Dalam bahasa inggris kita sulit mencari dua kata yang secara popular mewakili dua istilah diatas. Dalam bahasa inggris hanya ada kata ctraf. Celakanya kata craft memiliki banyak arti yang mencakup baik ‘seni kriya’ maupun kerajian.’ Arti craft adalah pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan khusus, terutama ketrampialn tangan” (an occupation requiring special skill, expeciallymanual skill) ( Flexner and Hauck, 1987:469).
Dalam kajian seni rupa, Seni Kriya sering dibingkai dengan istilah craft maupun art. Dengan demikian tidak ada persoalan dengan penggunaaan istilah ‘ seni” pada kata “Kriya” istilah art sering secara sepihak diartikan sebagai seni “Seni Murni” oleh para Seniman Seni Lukis, Seni Patung, dan Seni Grafis. Ini adalah pencemaran istilah yang dilakukan sejak Renaisance. Sejak zaman Yunani dan Romawi istilah tecne (yunani) dan art/ars (romawi) mengacu pada segi ketrampilan. Pada zaman Renaisance istilah art digunakan untuk menyebut jenis seni rupa yang langka dan bernilai (mungkin karena kreativitasnya). Tetapi sejak terjadinya krisis seni modern (krisis seni murni) tahun 1970-an, istilah art (ars) menjadi lebih bebas digunakan untuk menamai seni apa saja (dalam konteks seni postmodern atau seni kontemporer). Dalam konteks tertentu, kita tidak hanya boleh menggunakan istilah ‘seni kriya’ tetapi juga ‘desain kriya., buku panduan pusat desain nasional bahkan menggunakan istilah yang lebih longgar lagi, yakni ‘desain kriya (dan juga desain kerajinan). Ini berarti bahwa kriya bisa disandingkan tidak hanya dengan istilah seni tetapi juga dengan istilah desain.
Kata Reformasi dalam Kamus Populer Ilmiah Indonesia adalah perubahan, perbaikan, pembentukan baru, pembaharuan, perombakan (bentuk); gerakan keagamaan pada abad ke-16 di Eropa yang bertujuan memperbaharui gereja Katolik Roma, sehingga berdirinya gereja Protestan. Kata Reformasi yang disini adalah perbaikan Seni kriya yang sudah dan dikembangkan lagi dengan keadaan kriya saat ini.
Teori utama yang melandasi reformasi Seni Kriya adalah “teori perubahan” (theory of change). Dalam menjelaskan perubahan ilmu sejarah seni rupa telah mendapatkan banyak pengaruh dari ilmu sejarah sosial. Benda-benda kebutuhan manusia umumnya tidak dipakai selamanya karena benda-benda itu lama-kelamaan akan rusak. Proses alami mendorong manusia untuk selalu membuat benda-benda diproduksi tidak hanya menggantikan benda-benda yang rusak tetapi juga untuk memperbanyak model dan persediaan, yakni dalam rangka memperoleh keuntungan finansial sebanyak mungkin (walker, 1989:88-89).
Ditinjau dari teori perubahan perbedaan seni kriya dan kerajinan sebetulnya tidak terlalu tampak jelas. Dalam kerajinan tradisional, perubahan terjadi secara langsung seperti dalam evolusi alam: sebuah artifak ditiru secara berulang-ulang oleh generasi kemudian, karena setiap peniruan tidak pernah sempurna, maka muncullah variasi-variasi yang lama-kelamaan semakin menyimpang dari bentuk dan hiasan aslinya. Perubahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang disadari oleh para pembuatnya (ibid., 1989: 89). Sebaiknya, dalam seni kriya, perubahan yang terjadi adalah sesuatu yang disengaja. Kesengajaan dalam mengubah bentuk dan hiasan ini sebetulnya tidak hanya terjadi karena dalam seni kriya tetapi juga dalam desain, terutama desain produk industri. Dalam desain produk industri, perubahan tidak hanya dibolehkan tetapi juga dituntut. Meskipun begitu ada perbedaan antara seni kriya dan desain produk industri. Proses perancangan seni kriya tidak serumit dan sesistematis desain produk industri. Secara umum sering dikatakan bahwa perubahan dalam seni kriya terjadi kareana ada tuntutan kreativitas. Tetapi dalam kenyataan kreativitas seni kriya sulit diwujudkan karena pengulangan bentuk sulit dihindari. Itulah sebabnya pengertian seni kriya dan kerajinan seringkali sulit dibedakan sehingga masalah tersebut terjadi sampai sekarang.