15 June 2007

TENGANAN & Kain Geringsingnya

TENGANAN & Kain Geringsingnya
Oleh : Widya Prabandari

Tenganan adalah sebuah desa terpencil di Kabupaten Karangasem, sekitar 65 kilometer dari kota Denpasar, Bali. Desa ini terbilang tetap tegar bertahan dalam arus globalisasi yang pesat akan perkembangan teknologi dan informasi. Tenganan selama ini kurang ”terdengar” dalam peta pariwisata di Pulau Bali. Jangankan dengan Kuta, Ubud atau Sanur. Dengan Candidasa yang berdekatan dengan lokasi tersebut Tenganan memang kalah santer terdengar dalam objek pariwisatanya.
Masyarakat Tenganan cukup berhasil mempertahankan tradisinya hingga sekarang ini, mereka masih berpegang teguh pada awig-awig atau peraturan adat desa yang ditulis sejak abad ke 11 dan diperbaruhui tahun 1842 karena yang asli terbakar. Kehidupan masyarakat Tenganan, walaupun nantinya sudah menerima masukan dari “dunia luar”, tentu tidak semudah itu akan bisa berubah cepat, karena awig-awig tetap memilki peran dan fungsi sentral. Berbeda halnya dengan Kuta yang sudah penuh gebyar dengan kehadiran hotel dan arus wisatawan yang melimpah, Tenganan tetap bertahan dengan tiga balai desanya yang kusam, dengan deretan rumah adat yang satu sama lain sama persis dengan garis keturunan yang dipertahankan keasliannya dengan sesama warga desa.
Penanganan pariwisata di Tenganan kurang terprogram dengan baik, terasa ketika wisatawan pertama kali menginjakan kakinya memasuki objek wisata hanya ada sebuah pintu “gerbang” sempit yang hanya cukup dilewati satu orang. Sebelum masuk wisatawan harus menyumbang secara sukarela kepada petugas dan mengisi buku tamu. Tidak ada tiket masuk ke desa yang sekaligus menjadi objek wisata itu, di Tenganan sistem Barter yang digunakan semua perdagangan berdasarkan pada kepemilikan kolektif atas tanaman, sawah dan kerbau yang dibiarkan berkeliaran bebas di kawasan desa.
***
Inikah yang menjadi pertayaan dalam tulisan ini, Apakah Tenganan identik dengan kain Geringsingnya ? kain Geringsing Tenganan memang sangat penting untuk upacara-upacara tradisi di desa setempat, juga di desa-desa sekitarnya, seperti Tenganan Dauh Tukad, Bugbug sampai Bungaya. Kain ini dianggap penting dan sakral sehingga kerap dikenakan masyarakat setempat saat upacara besar seperti ngasaba desa ?.
Ada tiga elemen warna pada kain Geringsing yakni merah, hitam dan kuning. Ketiga warna itu diduga merupakan simbol Tri Murti, yakni merah (api sebagai simbol Brahma), Hitam (air sebagai simbol Wisnu) dan kuning (Angin sebagai simbol Siwa). Ketiga unsur tersebut menurut klepercayaan masyarakat Tenganan merupakan hal yang terpenting bagi manusia tanpa Api, Air dan Angin manusia tidak bisa hidup di alam semesta ini.
Untuk warna merah sendiri didapat dari akar sunti asal Nusa Penida, sementara warna kuning berasal dari minyak kemiri. Agar warna bisa masuk ke dalam serat-serat benang dengan sempurna memakan proses yang panjang. Untuk warna kuning saja butuh waktu selama satu bulan tujuh hari. Warna merah setidaknya perlu proses selama tiga hari. Seterusnya, secara total keseluruhan dari awal proses pencucian-penjemuran-penyimpan memakan waktu kurang lebih tiga bulan.
Dulu, terbatasnya penenun kain geringsing, selain karena prosesnya amat sulit dan memerlukan waktu lama, juga bahan pewarna kain sulit didapat. Bahan pewarna benang untuk ditenun menjadi kain geringsing, berupa getah pohon tibah (mengkudu) hanya khusus didapatkan di Nusa Peninda. Sementara kulit akar mengkudu di luar Nusa Penida menghasilkan warna merah kekuningan.
Keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan jumlah penenun kain khas Tenganan ini hanya lima orang itu pun perajinnya tergolong kalangan wanita tua, tapi kini jumlah perajin telah mencapai puluhan, dan banyak dari kalangan wanita muda. Namun disayangkan terjadi pergeseran tujuan dari tradisi menenun kain geringsing, kalau dulu penenun hanya berorentasi pada bakti untuk sarana atau busana upacara keagamaan, kini penenun mulai berorentasi untuk tujuan komersil pasar. Sehingga dalam proses pewarnaan benang ataupun penenunan mulai mengarah pada efesiensi waktu.
Belakangan ini pewarnaan benang untuk kain geringsing yang di jual belakangan ada yang lebih cepat, yakni dua sampai empat tahun. Dalam periode tertentu, benang yang tengah dicelup kerap dibuka atau diangkat, guna melihat apakah warnanya sudah cukup untuk ditenun. Belakangan ini ada beberapa benang yang sudahtak bisa menyerap warna dari larutan kulit akar mengkudu. Oleh karena itu, perlu dicari benang yang masih memungkinkan bisa ditenun menjadi kain geringsing. Terjadi pergeseran orientasi kerajinan menenun kain geringsing ini ada baiknya, jumlahnya kian bertambah dan tak ada kekhawatiran lagi bahwa kain bercorak khas ini kelamaan punah ditelan moderenisasi.
Di artshop dekat pintu masuk ke desa Tenganan selembar kain geringsing yang lebarnya dua jengkal tangan dengan panjang seperti selendang. seharga Rp 400.000, sampai Rp 1 Juta. Banyak wisatawan asing maupun domestik terkejut, heran dengan harga fantastik ini, memang jauh berbeda dengan kain hasilan pabrikan yang dijumpai di toko tekstil.
Kendati kain tenun tradisional etnik lain membanjiri pasar batik di Bali, tampaknya hal itu tak terlalu berpengaruh terhadap pasar produk kain geringsing yang diproduksi warga Desa Tenganan Pagringsingan. Kain etnik khas produksi asli warga Tenganan ini sudah banyak dikenal orang tidak hanya di pasar lokal tetapi di pasar internasional karena dari segi harganya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk sebuah kain tenun Geringsing yang klasik.
Untuk harga selembar kain geringsing memang harga yang ditawarkan cukup tinggi dan eksklusif dikarenakan proses pembuatannya memakan waktu lama dan juga butuh perlakuan khusus, untuk penggunaan warnanya masih secara alamiah dari tumbuh-tumbuhan. Kain geringsing yang terbuat dari benang single juga lebih murah. Jadi, harga kain geringsing itu tergantung dari kualitas atau proses pembuatannya, warna, pola atau coraknya
Berbeda dengan harga kain geringsing yang ada di artshop dekat pintu masuk desa Tenganan, kain geringsing yang asli dengan ukuran kecil bisa mencapai Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta. Jika kualitas dan ukuran yang sedang berkisar Rp 10 juta sampai 12 juta. Makin rumit pola dan corak makin lama proses pengerjaannya dan umumnya makin tinggi nilainya. Apabila ada kain geringsing yang tergolong kuno, masih bagus kualitas warnanya serta utuh nilainya bisa mencapai ratusan juta.
Nah jika ada hal-hal yang “khas” di Tenganan selain masyarakatnya yang memunculkan perasaan halus berbau ironis ketika meyaksikan “keterasingan” dan kesederhanaan mereka. Jika dimungkinkan, tanpa harus melanggar awig-awig tinggalan para leluhur, masyarakat Tenganan sebaiknya dilatih untuk bisa menangkap peluang, mengelola pariwisata dan bukan membunuh potensi pariwisata desa Tenganan sendiri, dengan pengelolaan pariwisata yang baik diharapkan perkembangan tersebut tanpa merusak tradisi yang sudah lama terjaga. (nymph)

No comments: