15 June 2007

Kebobrokan seni kriya di Indonesia.

Kebobrokan seni kriya di Indonesia.
Noverdiansyah

Kondisi kriya di Indonesia sekarang penuh dengan perdebatan yang tak ada habisnya, diantara telah menjadi tradisi dan yang lainnya telah mecapai puncak klasik(seni yang tidak bisa dikembangkan lagi). kalau kita melihat Eropa Barat kriya mengalami lompatan yang dashyat sejak bergulirnya faham Antroposentrisme dengan berbagai temuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Didukung dengan perkembangan teknik kriya, Guilde-Guilde art and Crafts: memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. Walaupun hal tersebut mendapat kritik tajam karena dianggap memunculkan korban disi kemanusiaan ditengah kemajuan massa industri modern.
Sedangkan di Indonesia sendiri, perkembangan kriya tidak lepas dengan budaya bangsa, berlangsung sejak zaman prasejarah, dengan masuknya agama hindu dan Islam. Dan mencapai kemacetan sebagai akibat adanya kejenuhan pola pikir ketimuran, kurangnya pemikiran untuk mencari kriya yang baru sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Kriya kehilangan jati dirinya sehingga terbagi-bagi, seperti seni bangunan (arsitekture), seni arca (patung), seni menggambar (seni lukis), dan seni design (produk). Perlu diakui bahwa kriya adalah akar seni rupa, tentu berbeda dengan keadaan sekarang ini, keadaannya malah terbalik.
Coba kita lihat sebuah contoh kasus, yang mungkin sangat berguna untuk kriya. Pada masa Renaissance ke-16 di Italia, masa pencerahan masyarakat homogen kristen Barat setelah kemacetan budaya pikir pada abad tengah (dikenal sebagai abad kegelapan). Terobosan ini ditandai upaya menyambung kembali kebudayaan Barat yang macet selama 2000 tahun, dengan menggali menggali kebudayaan Yunani kuno berkembang pada 500 tahun sebelum Masehi. Berkat pemikiran para Filosof-filosof Eropa, makanya kesenian “Fine Art”diEropa berkembang sampai sekarang yang mengacu kepada kesenian tradisional/budaya, bahkan menjadi acuan untuk perkembangan seni yang lainnya “Senento Yuliaman, Dua Seni Rupa”.
Seni kriya pernah mencapai seni yang adiluhung, seni yang paling tinggi “Culture High Art” pada masa kebudayaan Jawa, adiluhung diistilahkan Kagunan, berasal dari kata “guna” yang diuraikan:watak, keahlian, kelebihan, hasil yang berfaedah, hasil yang bergun. Sementara defenisi kagunan diuraikan sebagai; 1) kepinteran 2) jejasan ingkang adipeni 3) Wudaring Pambudi nganakake kaendahan (gegambaran, kidung ngukir-ukir). Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah 1) kepandaian/ kecerdasan/ Intelektualitas 2) pekerjaan yang berguna dan berfaedah, 3) pencurahan akal budi melalu pengungkapan rasa keindahan (pengembaraan, pengubahan dan perupaan) “Baoesastra Jawa. W.J.S Pigeaud, Th (et al.) J.B. Wolters, Groningen-Batavia, 1939”. pada abad 10 ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia itu bisa dilihat dari bangunan candi-candi yang diterapkan ukiran ornamen, yang mencapai masa keemasan Kriya pada kebesaran raja-raja Hindu-Budha di Jawa Tengah, yang paling menonjol dari bangunan tersebut candi Borobudur dan Candi Prambanan “Drs. Sujawi Bastomi Seni Ukir”. Karena tidak ada kajian oleh pemikir-pemikir orang Indonesia lebih lanjut mengenai kesenian adiluhung “Culture High Art” pada waktu, makanya keseniannya menjadi macet dan tidak berkembang.
Mungkin berbeda kalau Culture High Art di Indonesia dikaji kembali seperti zaman Renaiccanse, setidaknya membawa perubahan pada masa itu sampai pada masa sekarang ini. Untuk sekarang sekarang ini mengapa kriya penuh perdebatan yang sengit, terjadi pergeseran makna mengenai kriya itu sendiri, kriya mulai distilahkan karya seni yang yang dapat dikategorikan, sebagai karya yang dibuat berdasarkan alasan mencari keuntungan atau persaingan Ekonomi dalam kondisi kepepeet dengan mengesampingkan standar-standar estetik, memuaskan kebutuhan konsumen menjadi lebih penting daripada untuk menyenangkan senimannya “Nelson H.H Groborn, Tourist Arts atau Airport Art” .
Mungkin hal tersebut bisa diterima, karena istilah tersebut sangat dekat dengan kriya, maka kriya diasumsikan sebagai kerajinan. Kurangnya perhatian dari seniman kriya sendiri, untuk menjelaskan bahwa kriya bukan sebatas kerajinan, tetapi ada kriya yang berwujud seni. Makanya persepsi untuk kriya wajar kalau banyak anggapan orang bahwa kriya bukan seni rupa, karena seni mengikuti zaman, makanya konteks seni terus berubah sesuai keadaan zaman tersebut.
Kesalahan yang mendasar dihadapi kriya saat ini, mereka berpedoman pada sejarah (zaman klasik) dan tidak adanya pengkajian ulang mengenai sejarah tersebut hanya menerima sumber yang ada , perkembangan seni murni pada saat ini luar biasa perkembangannya, hal tersebut tidak pernah disadari oleh kriya malah dilakukan terus-menerus. dalam sepilihan tulisan Senento Yuliman yang mengatakan bahwa sudah lama berakhir tradisi adiluhung “High Art” karena arus Westernisasi dan Modernisasi, penomena inilah yang harus kita cari solusinya, supaya karya adiluhung bisa terangkat kembali.
Kesalahan yang lainnya kriya selama ini tidak mau terbuka diri secara Global menerima apa-apa yang berguna untuk kemajuan kriya, malah yang signifikan kriya menutup diri dan mempertahankan persepsinya. Ditambah lagi kurangnya pameran kriya baik yang berskala kecil dan berskala besar, dalam pameran pun kriya lupa, apa yang menjadi pemikiran mereka dalam pameran tersebut, yang ada Cuma pameran kriya merayakan saja pameran tersebut, karena tidak didukung wacana yang jelas. Mungkin kita bisa mencontoh gerakan seni rupa baru yang dipelopori oleh Jim sumpangkat pada tahun 1970-1980 dengan keseimbangan antara kriya dan wacana, sehinggga menjadi sejarah yang luar biasa. Setidaknya kita sedikit bisa belajar dari sana, untuk mengatasi polemik-polemik yang terjadi sekarang ini di kriya, tapi kenyataan kriya sendiri malah berat sebelah, tidak terjadi keseimbangan ketika kriya menggelar pameran, pameran yang digelar sering tidak didukung dengan wacana yang kuat, jadinya pameran tersebut tidak berisi, ketika ada wacana tentang kriya, tidak diimbangi dengan kriya, jadi wacana tersebut menjadi omong kosong yang tidak berarti.

No comments: