14 June 2007

Polisi dan Uang

Polisi Dan Uang
Noverdiansyah

Pagi jam 7.00 tanggal 20 desember 2006 diperempatan lampu merah patang puluhan, saya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tepatnya diperempatan lampu merah patangpuluhan, saya datangnya dari selatan jl. Bugisan dan ingin belok ke barat daerah JL Patangpuluhan, belok kekiri harus mengikuti lampu hijau, pada waktu itu posisi saya ingin cepat dan keburu-buru saya mengambil data ditempat teman didaerah JL Nitipuran, saya tidak memerdulikan rambu-rambu yang ada, tak tahu dibelok ada seorang polisi, kontan saja saya distopin dan motor saya dipinggirkan. Pada waktu itu pak polisinya langsung menanyakan surat-suratnya, sebut saja Polisi B yang menanyakanku tadi. kebenaran yang ada hanya STNK dan SIM saya hilang akibat gempa yang terjadi 27 mei silam, kost saya keambrukan. Tak beberapa lama polisi untuk masuk ke pos polisi untuk menyelesaikan masalah atas kesalahanku.

Setelah polisi B membacakan kesalahan, saya bercerita kenapa saya tidak mempunyai sim kendaraaan bermotor, saya dalah korban gempa 27 mei 2006 beberapa waktu yang silam. Untung saja motor saya masih bisa diselamatkan dan SIM saya entah kemana berserta barang-barang yang lainnya.

Yang saya heran adalah polisi B tidak ada rasa simpatik dan moral sedkitpun terhadap saya. Polisi B menjawab dengan entengnya; itu urusan anda”!! Bukan anda sendiri yang terkena musibah tersebut, masih banyak orang kena musibah tersebut” begitu katanya”. Saya berkata dalam hati”! kalau polisi berada diposisi saya, saya rasa rasa polisi tidak layak berkata begitu. Saya melakukan kesalahan tersebut bukan saya sengaja, situasi yang tidak menguntungkan pada saya, karena saya terburu-buru.

Polisi B langsung menjatuhkan tilang pengadilan, dan waktu saya meminta kebijaksanaannya, polisi tetap pada pendiriannnya, dalam pikiran saya berkata”; polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat dan melindungi masyarakat, tidak sesuai dengan standar perbuatannya, dimana rasa simpati dan moral ketika masyarakat berada kondisi yang menguntungkan” seperti saya ini” serharusnya mengerti”?.
Polisi B, langsung membuat surat tilang pengadilan dan saya. Saya hanya terdiam melihat semua itu, dan saya saya menerima apa adanya. Polisi B memberikan surat tilang kepada saya, pada waktu itu saya hanya diam saja, surat tilang tidak saya ambil, saya hanya diam didalam pos polisi itu, polisi B meningalan dalam pos polisi. Saya tdak mau pergi dalam pos tersebut kalau belum selesai urusannya. Saya dam saja tidak mau pergi dari pos polisi tersebut. Wajah saya pada waktu itu termenung dan membisu”.

Untung saja dalam keadaan saya seperti tu masih ada yang peduli dengan saya, sebut saja namanya polisi polisi H. polisi H tersebut bias dikatakan ketua dalam pos polisi bangjo Patangpuluhan. Dia langsung menanyakan”? kenapa dik”! adik maunya gimana? Dengan sopan Polisi H menanyain saya”. Tidak seperti polisi B. setelah berkomunikasi, polisi H dengan saya. Terjadi kesepakatan akhirnya damai. Saya mengelus napas lega, tidak jadi kepersidangan yang menjadi panjang persoalan dan membayar sejumlah uang dalam ketentuan yang saya langgar.

Pertanyaan pertama, kenapa poisi selealu diindentikkn dengan uang, ketika masyarakat melakukan kesalahan dalam pelanggaran lalu lintas, kenapa selalu dengan uang untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak ada cara lain yang lebih sopan, apakah tidak ada rasa simpatik dan moral yang dimiliki oknum polisi B. Uang..uang… sudah melekat dengan kepolisian yang beredar dimasyarakat ketika melanggar rambu-rambu lalu lintas. Image sudah sangat melekat dengan kepolisian. Saya meminta segenap jajaran kepolisian bisa berpikir. Seperti dalam visi misinya mengayomi masyarakat dan melindungi masyarakat, saya rasa itu hanya teori tidak sesuai dengan praktek dilapangan.

Kedua, Seharusnya polisi B mengerti dengan kondisi yang saya alami, dan tidak memvonis saya seperti yang saya utarakan, saya bukan tidak punya SIM tetapi SIM saya hilang waktu gempa, untuk membuat SIM lagi, saya tidak punya KTP Jogja untuk membuatnya di Jogja. Kebenaran saya asli sumatera, untuk membuat SIMnya harus di Sumatera. Seharusnya polisi B mengerti.
Saya mengucapkan terima dengan polisi H telah berbaik hati dengan saya, yang mengerti kondisi saya, saya berjanji akan membuat SIM secepatnya kalau hal tersebut memang keharusan.






No comments: