15 June 2007

Ekspresi dalam Seni Kriya

Ekpresi dalam seni kriya
Oleh, Drs. Rispul

Membicarakan masalah ekpresi dalam seni kriya dalam perwujudannya tidak secara spontan seperti halnya dalam lukisan, namun sangat terkait dengan pengusaan teknik dan media ekpresi itu sendiri. Seni kriya sebagai media ekpresi dalam perkembangannya sejalan dengan arus kemajuan jaman, mengingat konsep dasar yang melandasi penciptaannya, salah satunya adalah untuk memenuhi dan kepuasaan batin manusia.
Seni kriya sebagai media ekpresi perkembangannya mempunyai ruang lingkup yang terbuka, kebebasan, keluasaan sesuai dengan cita rasa, kemampuan teknik, pengalaman estetis dan kedalaman ekpresi dari masing-masing seniamannya. Dari sekian banyak bahan yang menjadi pilihan seperti kayu, logam, tanah liat, kulit, dan serat para kriyawan dapat memanfaatkan sesuai dengan kemampuannya dalam memahami sifat-sifat dan karakter bahan, juga kemauan dan kemampuan skill yang dimilikinya. Penggarapan tema pada seni kriya sangat bebas dalam memanfaatkan unsur-unsur tradisi untuk diolah dan disesuaikan dengan nuansa yang berkembang dewasa ini, yang memberi kebebasan berfikir, menangkap fenomena-fenomena dalam diri maupiun lingkungan untuk diekpresikan. Sebagian para kriyawan mencari bentuk-bentuk baru sebagai ungkapan ekpresikan. Sebagai para kriyawan mencari bentuk-bentuk baru sebagai ungkapan ekpresi pribadi dalam berkarya.
Konsep kriya ekpresi masih perlu dihayati lebih dalam. Kriya ekpresi adalah bentuk kriya masa kini dimana kriyawan cenderung meniru atau menyimpang dari norma tradisi yang berlaku (SP. Gustami, 1991:183), atau secara sederhana menjadikan karya kriya itu kreatif, tidak sekedar pengulangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Yang memperlihatkan bahwa ciri utama dari bentuk kriya ekpresi adalah bentuknya yang kreatif, menyimpang dari bentuk yang sudah ada, dalam arti mencari bentuk-bentuk baru. Hal ini sesuai dengan ungkapan Soedarso Sp. Bahwa: seni modern justru mengjar novelty, mengejar yang baru, yang lain dari pada lain. Horizon seni modern tidak kenal batas, kecuali batas kemampuan imajinasi senimannya. Standarnyapun selalu goyah, berubah terus,m sehingga apa yang sudah kita kenal pada suatu saat bisa saja tidak mungkin diterapkan ntuk menyiasati seni yang baru (Soedarso SP, 1990:79).
Melihat seni kriya yang berkembang sekarang, kriyawan selain menciptakan karya yang mempunyai fungsi (karya fungsional), juga menciptakan karya-karya yang lebih menekankan pada kreativitas dan bebas untuk berkpresi mengungkapkan ide-ide yang bersifat Invidualistic. Dengan adanya teknik seni kriya yang sangat rumit dan membutuhkan ketelatenan, kesabaran, maka ekpresi dalam seni kriya tidaklah dapat serta merta begitu saja keluar dan diwujudkan dengan cepat seperti halnya ekpresi dalam melukis, tetapi ungkapan ekpresi itu ditata, diatur sedemikian rupa sehingga menjadi ungkapan ekpresi yang mempunyai getaran halus.
Untuk melihat posisi seni kriya yang berorentasi pada ekpresi dapat dilihat dalam skema yang dikemukakan oleh SP. Gustami dibawah ini:

Diagram diatas menunjukkan usaha baru untuk pemisahan bidang seni kriya, yakni seni kriya yang menekankan segi-segi ekpresi terpisah dengan seni kriya yang lebih berorientasi pada pemenuhan fungsi praktis dalam terminologi seni kerajianan (SP. Gustami, 2003:92). Seni kriyqa yang dalam penciptaanya lebih menekankan ekpresi pribadi akan mengarah pada seni murni yang lebih memperhatikan kidah-kaidah seni rupa modern, sedangkan seni kerajinan dalam penciptaannya lebih mempertimbangkanaspek-aspek desain melalui pemikiran rasional fungsional.
Pada prinsipnya dalam seni kriya bukan merupakan keterpisahan antara pemikiran rasional dengan ekpresi estetik melainkan, luluhnya karya cipta yang berbasis pada pemikiran praktis dan kepekaan ekpresi artistiuk dalam suatu kesatuan yang utuh dan padu (Sp. Gustami, 2003:93).
Kaitannya dengan karya kriya fungsional, dengan mengutip Viktor Papanek, Soedarso Sp. Menulis dalam katalog pameran kriya seni 2000, bahwa fungsi ang luas itu menyangkut pula estetika, tentunya continuities akan ada terus kalau saja cita-cita atau pandangan keindahan pun tidak berubah. Seperti diketahui dalam rangka menyelamatkan slogan “Form follows function” yang terkenal, viktor memasukkan enam unsur dalam fungsi, yaitu use, need, method, telesis, aesthetich da assocation ( Soedarso Sp, 2000:34). Dapat dilihat pada gambar/ diagram dibawah ini:

Gambar/diagrama diatas dapat dijelaskan bahwa dalam menciptakan produk yang fungsional harus memperhatikan keenam unsur tersebut pertama, Method yaitu interaksi antara alat proses dan bahan, penggunaan bahan secara jujur seperti apa adanya, bahan dan alat digunakan secara optimal adalah metode yang baik.
Kedua, Use yaitu kegunaan harus sesuai dengan fungsinya. Ketiga, Need yaitu kebutuhan sesuai dengan keinginan setepat dan seefisien mungkin. Keempat, Telesisi yaitu kandungan dari sebuah disain yang berkaitan dengan cerminan kondisi alam sosial masyarakat dan sejalan dengan tatanan umum diamana ia harus beroperasi. Kelima, assocation yaitu pengkondisian psikologis kita yang berhubungan dengan bentuk. Keenam, Aethetics yaitu yang indah di dalam selera dan seni, sebuah alat untuk membantu mewujudkan bentuk dan warna yang menyenangkan, indah, menarik, penuh kegembiraan, dan bermakna karena tidak ada tolak ukur yang mudah bagi analisis estetika, hal ini dianggap sebagai ekpresi pribadi.
Perjalanan panjang seni kriya dalam kelangsungan dan perubahannya telah banyak dipengaruhi berbagai faktor baik pekatnya latar belakang sejarah, luasnya pengalaman teknis dan estetik dan kuatnya interaksi sosial pendukungnya yang sangat berarti bagi perkembangannya. Kemudian But Muchtar memberikan uraiannya bahwa pada saat sekarang, seni kriya telah memasuki babak baru yakni dengan terjadinya pembagian kriya seperti diuraikan sebagai berikut:
Pada saat ini terdapat dua kategori kriya: yang pertama adalah yang tetap mempertahankan pengertian konvensional, yaitu kriya sebagai objek untuk keperluan sehari-hari. Para kriyawan kategori ini dengan tekun dan gigih terus mengerjakan barang sebagaimana diwarisi dari leluhur. Ada diantara mereka yang tanpa perubahan sedikitpun, dan ada pula yang vberusaha mengembangkannya menjadi lebih bermutu, tergantng dari situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kategori yang kedua adalah yang melihat kriya sebagai objek untuk menekankan ekpresi pribadi, sehingga para pembuatnya menemakan dirinya seniman kriya (But Muchtar, 1991:3).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa seni kriya terdapat dua subtansi dasar. Pada satu sisi seni kriya dapat menjadi seni tunggal (murni) yang mempumyai muatan ekpresi penciptanya, pada sisi lain dapat menjadi pula seni terap. Namun dalam mengungkapkan ekdpresi terikat oleh bahan dan teknik dalam seni kriya itu sendiri. Dari sini tampak bahwa seni kriya lebih memilki tingkat kompromis yang tinggi terhadap permasalahan-permasalahan yang rill yang dihadapinya senimannya, yaitu tuntutan material, teknik, keterdesakan ekonomis di satu sisi dan kesediaannya memberikan sarana penyaluran ide, gagasan, ispirasi dan ekpresi disisi lain. Dengan demikian seni kriya funsional tetap hidup subur karena memiliki multi fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan seni kriya yang menekankan ekpresi mestinya selalu menata posisinya dengan konsep-konsep penciptaan lebih reprentatif dan dapat dipertanggung jawabkan. Kelebihan inilah yang tampaknya telah membuat eksistensi seni kriya semakin kuat dimasyarakat.

Daftar pustaka
But Muchtar, 1991, “Daya Cipta Di Bidang Kriya”. Seni, Jurnal Pengetahuan dan penciptaan seni, 1/03, Oktober, BP ISI Yogyakarta

Soedarso Sp, 2000 Seni Kriya ISI Yogyakarta Mengantisipasi Masa Depan, Dalam Katalog Pameran Kriya Seni Seni 2000, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

......................, 1990, Tinjauan seni, sebuah Pengantar ntuk apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.

Sp. Gustami, 2003, “ spercik pemikiran pendidikan kriya Di Indonesia”

No comments: