07 June 2007

wacana kriya

KOMPAS Minggu 3 Oktober 2004 Seni dan BudayaMenimbang Paradoks Kriya Kontemporeroleh Anusapati APA yang bisa dikatakan ketika kita temui barang-barang keramik yangkehilangan fungsi praktisnya, sebaliknya dimanfaatkan untuk mengangkatisu-isu feminisme? Bagaimana menilai selembar tekstil yang sama sekali bukanlagi bahan sandang, tetapi adalah hasil dari sebuah proses eksplorasiperpaduan motif-motif? Reaksi inilah yang mungkin akan muncul ketikaberhadapan dengan karya-karya kriya kontemporer.DI tengah hiruk pikuknya perdebatan wacana seni rupa kontemporer dewasa ini,keberadaan karya-karya kriya beserta dinamika penciptaannya terasa luputdari perhatian. Aktivitas pameran yang memang masih sangat jarangmenyebabkan perkembangan yang sedang berlangsung terabaikan, padahal, gejalaperubahan yang muncul pada karya-karya seniman kriya kita saat inisebenarnya sangat menarik untuk diamati.Dari istilah "kriya kontemporer" dapat diduga bahwa perkembangan juga sedangberlangsung di wilayah wacana. Tampaknya pengaruh pemikiran postmodern jugamemberikan imbasnya hingga pada wilayah praksis penciptaan karya-karyamereka.Pengertian "kriya" sendiri, tidak dapat dimungkiri, masih sering kalidiartikan oleh masyarakat sebagai "benda-benda kerajinan", yang identikdengan cinderamata, produk massal, barang pakai. Secara fisik pun ia selaludikaitkan dengan sifat-sifatnya yang dekoratif, ornamentik, etnik. Tentusaja bidang ini kemudian lebih dekat dikaitkan dengan bidang industri (danpariwisata), sedangkan persentuhannya dengan wilayah seni lebih dilihatsecara ginealogis, sebagai salah satu cabang dari induk seni rupa yang lebihbernilai pragmatik, fungsional.Sebutan "kriya kontemporer" (yang merupakan padan kata dari contemporarycraft) sendiri sebenarnya mengandung paradoks karena di satu sisi iamenempatkan dirinya pada suatu kategori "kriya" (craft) yangberseberangan-atau setidaknya terpisah-dari "seni" (art). Namun, di sisilain, sebutan kontemporer seolah mengacu pada paradigma seni masa kini, yangdilandasi pandangan postmodernisme, di mana pembedaan kategori dianggaptidak berlaku lagi.Di dalam pandangan modernis, polarisasi antara craft-art ini demikian tegasdan dipertentangkan berdasar watak dasarnya, yaitu natural-kultural,intuitif-rasional, naluriah-intelektual, primitif-beradab, bahkan dalamperspektif jender: perempuan-laki-laki. Sedangkan di dalam wacanakontemporer, pembedaan berdasar kategori sudah tidak penting lagi. Mediaadalah sebuah pilihan sebagai moda ekspresi gagasan seniman, apa pun ujuddan materialnya. Bisa lukisan di atas kanvas, patung, keramik, kayu, logam,gelas dan sebagainya, selama ia merupakan representasi simbolis dariberbagai pemikiran dan pandangan tentang lingkungannya dan situasi masakini.Persoalan ini terasa muncul di dalam pameran kriya kontemporer bertajuk"Objecthood" yang digelar di Taman Budaya Yogyakarta, 27 September hingga 7Oktober 2004. Menampilkan sejumlah karya dari 40 seniman yang berdomisili diYogyakarta, pameran ini merupakan pameran kriya pertama yang menggunakansistem kuratorial.Oleh Sujud Dartanto, salah seorang kuratornya, "Objecthood" ini disebutsebagai "rekoleksi dan reuni obyek-obyek", yang menyatukan karya-karya tigadimensional kreasi para perupa dari berbagai disiplin media. Tidak herankalau selain hasil karya para seniman kriya dijumpai juga karya-karyabeberapa seniman yang selama ini lebih dikenal sebagai pelukis dan pematung,seperti Ugo Untoro, Bunga Jeruk, Yuli Prayitno, Komroden Haro, dan beberapayang lain.Satu hal yang dapat dilihat sebagai kesamaan di antara karya-karya yangdipamerkan adalah terdapatnya nilai kekriyaan (craftsmanship) yangdihasilkan lewat pengetahuan kriya (craft knowledge). Dengan itu, selainpada aspek ide, karya-karya ini menunjukkan kekuatan dan intensitas padaaspek penguasaan teknik, keterampilan, dan penghayatan terhadap materialpilihannya.Lihat saja karya Endang Lestari. Di dalam kotak-kotak kayu serupa rak yangdisusun di dinding, diletakkan sembilan buah figur keramik dalam bentukboneka perempuan dengan tubuh dibungkus kain sebatas leher. Kain yangmembungkus sembilan figur perempuan ini masing-masing berbeda, yaitu denganmotif kain tradisional Cina, Jepang, India, dan Jawa. Karya ini menyuguhkanpersoalan kesetaraan jender, dengan mengambil contoh pada beberapamasyarakat yang memiliki konstruksi sosial yang sangat patriarkhal, di manakaum wanita berada pada posisi subordinat, bahkan tertindas. Menggunakanidiom perupaan yang sangat kuat, perupa ini tetap memilih medium keramikyang tentu secara teknis sangat rumit, dengan penggarapan yang cermat,sehingga secara visual karya ini tetap cantik.Seperti pada umumnya karya-karya seni kontemporer, persoalan-persoalanaktual sekitar sosial, politik, dan ekologi menjadi perhatian beberapaperupa dalam pameran ini. Edi Eskak memanfaatkan potongan-potongan kecilkayu, bahkan Bagus Endrayana menggunakan serpihan sisa kayu sebagai materialkaryanya. Pada kondisi ketika material kayu menjadi barang langka, olehkarena eksploitasi berlebihan terhadap hutan, maka pemanfaatan limbah kayumenjadi sangat relevan.Selain karya-karya yang menunjukkan kecenderungan naratif-simbolik, banyakdi antaranya yang sangat kuat menunjukkan intensitas pada eksplorasi media,seperti pada karya keramik Noor Sudiyati, karya logam Bagus TY, karya kayudan gelas Meko Mana, karya tekstil Nia-Ismoyo dan Carolin Rika, serta karyagelas Tita Rubi adalah beberapa contoh.Dari pameran ini dapat kita saksikan bahwa kriya seni merupakan suatu mediayang sebenarnya memiliki kemungkinan untuk digunakan sebagai saranapengungkapan berbagai gagasan serta berbagai kecenderungan estetik. Pilihanmedia tertentu, yang tentunya memiliki batasan-batasan teknis bukan berartihambatan untuk mengakomodasikan ide-ide kontemporer. Perdebatan pada tataranwacana mungkin masih diperlukan untuk mendapatkan platform yang lebihmantap, selain tentu kesempatan untuk menampilkan karya-karya kriya melaluipameran sehingga karya kriya lebih dikenal oleh masyarakat.Penulis adalah Perupa, Staf Pengajar pada FSR-ISI Yogyakarta (arsip; Noverdiansyah)

No comments: