07 June 2007

Meike Hutabarat, Mengubah Kriya Menjadi Seni
Chandra Adhie Nugroho SEBUAH stupa berwarna kuning emas bertengger di atas bujur sangkar perak yang ditatah sangat halus. Di ujung bujur sangkar itu pegas-pegas perak besar melingkar dikelilingi patri tabur sangat halus. Manuskrip kuno beraksara Jawa dipahatkan pada bujur sangkar itu, seolah menjadi "magnet" atau "roh" Jawa Buddha, sama seperti roh pada bangunan Borobudur buatan Raja Sanjaya Wangsa Syailendra.
Borobudur mini itu tak cuma dalam bentuk cincin, melainkan juga berbentuk liontin, bros, maupun giwang. Perhiasan ini merupakan koleksi GKR Hemas, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pembuatnya, Meike Sahala Hutabarat, perajin aksesori perhiasan logam asal Semarang. "Saya pilih Borobudur untuk menunjukkan betapa tingginya kebudayaan kita pada masa lampau. Dengan mengangkat Borobudur dalam bentuk lain, saya ingin menyajikan imajinasi berbeda. Saya ingin Borobudur menjadi ciri Jawa Tengah," kata ibu dua putri ini beberapa waktu lalu. Pada tanggal 21-23 September 2002 karya Meike dipamerkan di Hotel Ciputra, Semarang.
***BOROBUDUR merupakan salah satu ikon yang digunakan Meike. Meskipun bukan pekerjaan mudah dan cepat menghasilkan uang, dengan kecermatannya Meike bisa membuat miniatur bangunan bersejarah di Jawa Tengah seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Gereja Blenduk Semarang, hingga Monumen Tugu Muda Semarang. Semua karya itu dikerjakan dengan tangan, menggunakan getah tanaman, dan patri tabur halus untuk menempelkan bangunan mini itu. Pengerjaan sebuah karya memakan waktu 3 - 4 bulan.
Teknik kuno khas logam Indonesia yang dikumpulkan dari seluruh Nusantara, seperti teknik sudetan dan tatah (khas Kotagede Yogyakarta), piligri atau sulaman logam (khas Ujung Pandang), ukel dan jawan-jawan (khas Bali), sengaja ditorehkan Meike, dipadukan dengan motif lokal Jawa Tengah. Di mana perlu, Meike menggunakan batuan semi mulia asal Indonesia seperti kecubung ketapang, akik dan batu kayu dari Kalimantan, mutiara Aru, akik Sukabumi dan Wonogiri, bahkan kerang yang dikumpulkan nelayan Manado dan Lombok.
Upaya itu dilakukan Meike karena prihatin akan nasib kriya logam Indonesia yang tengah kehilangan identitas, kalah bersaing dari aksesori logam dengan motif dari Italia dan Hongkong, yang cenderung monoton.
Perhatian Meike yang oleh pengajar psikologi di Universitas Diponegeoro Semarang Darmanto Jatman dalam tulisan berjudul Samudra Muncrat, Mengubah Kerajinan Jadi Kesenian (Kompas 11/5) disebut sebagai seniman, akan motif lokal terlihat pada karya tusuk konde, misalnya, yang bermotifkan bunga kanthil, bunga khas Jawa Tengah. Melalui tusuk konde itu, Meike ingin mengatakan, bunga kanthil sama cantiknya dengan mawar ataupun tulip asal Belanda yang kerap menjadi model berbagai produk kerajinan. Burung kepodang, burung asli Indonesia, juga tak luput dari perhatiannya.
Pada pernikahan GKR Pembayun akhir Mei lalu, Meike merancang seuntai kalung untuk GKR Hemas dengan motif yang ia ambil dari motif yang terpahat pada gapura di Keraton. Bagi Meike, motif kuno yang terpahat di gapura, gebyog kayu, ataupun ukiran kayu pada tiang bangunan, dapat menjadi sumber inspirasi utama saat harus merancang perhiasan untuk keluarga Sri Sultan HB X. Kesemua motif itu ia padukan dengan teknik kuno yang sudah banyak dilupakan perajin.
LEGENDA rakyat pun tak luput dari incaran Meike. Misalnya, legenda rakyat Cirebon akan kebesaran Sunan Gunung Jati menjadi sumber inspirasi dalam membuat keris Kiai Kluwung Samudra.
Meike tidak mengambil motif batik Cirebon, melainkan batu wadas dari tengah samudera -demikian menurut legenda masyarakat Cirebon- yang menjadi tempat pertapaan Sunan Gunung Jati. Sedangkan, kluwung bermakna pelangi, artinya adanya harapan. Legenda itu ia tatahkan dengan teknik piligri besar dan kasar, dihiasi batu-batu mulia.
Karyanya yang lain yang merupakan bentuk kontemplasi Meike atas compang-campingnya wajah Indonesia di dunia internasional adalah Payung Rinonce. Ia mengaku, saat itu sangat gundah ketika mendengar Pemerintah Indonesia ikut menandatangani perjanjian perdagangan bebas ASEAN, AFTA. Rinonce dalam bahasa Jawa bermakna "masa depan yang tidak terbentuk". Sedangkan simbol payung, untuk mengingatkan agar para pemimpin memikirkan masa depan Indonesia, terutama di era AFTA, jangan hanya diri sendiri atau kelompok. (vincentia hanni s) arsip Noverdiansyah

No comments: