15 June 2007

KRIYA ‘’99 MEMBUKA CELAH BARU

KRIYA ‘’99 MEMBUKA CELAH BARU
Oleh : Astab Justiwiasro

Rendahnya frekuensi pameran seni kriya membuat seni kriya itu sendiri kurang dikenal oleh masyarakat, hanya sebagian kecil saja yang mengenal seni kriya daripada seni kerajinan yang notabenenya seni kerajinan adalah bagian dari seni kriya. Seni kriya dikenal masih pada kalangan tertentu yang kesehariannya bergerak di bidang seni saja.
Sedikitnya para kriyawan yang tergerak hati dan terus berjuang mengangkat bendera seni kriya tinggi-tinggi di kancah dunia seni rupa Indonesia. Ditambah lagi rendahnya minat untuk menulis dari kriyawan itu sendiri menjadikan wacana-wacana seni kriya tidak berkembang sehingga publik kurang merespon hadirnya karya-karya seni kriya, sehingga komunikasi dua arah yang seharusnya terjadi, disini tidak terjadi. Sebenarnya semua hasil seni apapun akan selalu dihadirkan dan dikomunikasikan dengan publik, mau kepada siapa pun hasil karya seni tersebut dikonsumsikan dan komunikasi dua arah dapat dicapai dengan sendirinya. Ditambah lagi dukungan dari media masa, sehingga wacana seni kriya bisa lebih berkembang lagi. Apabila para kriyawan sadar akan budaya untuk menulis dan lebih membangun dan mengembangkan wacana seni kriya dapat dipastikan seni kriya sebagai alternatif media yang belum banyak dikaji akan sering dikaji dan di diskusikan oleh kalangan seni sehingga seni kriya dapat terangkat pada posisi yang lebih baik di kancah percaturan dunia seni rupa Indonesia.
Berkembanganya seni kriya tidak luput dari peran serta para kritikus, namun kaum kritikus seperti menjaga gengsinya ketika ia mengkritik karya-karya kriya yang mereka anggap seni kriya itu termasuk Low Culture (seni rendah) yang tidak merepresentasikan kelompok elite, borjuis. Mereka lebih senang mengkritik karya seni lukis maupun seni patung yang mereka anggap sebagai High culture (seni tinggi) yang banyak mewakili tradsi fine art. Ketika kritikus angkat bicara untuk publik di depannya dan menunjukkan pada karya dibelakangnya sering kali secara persuasif karena sulit diterima oleh publik. Pendeknya tugas kritikus adalah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi bagaimanapun sangat berharga bagi seniman itu sendiri maupun publik.
Tulisan ini mencoba meraba-raba dengan pasti dimana letak permasalahan dari seni kriya yang sepertinya belum ada cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahn yang terjadi pada seni kriya. Hal ini berangkat dari ketidakjelasan pengertian istilah kriya atau kria itu sendiri yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam pameran kali ini istilah kriya didekatkan dengan istilah kontemporer, menjadi “kriya kontemporer”, penambahan istilah kontemporer ini bertujuan menunjukan pada kecenderungan terakhir dari wilayah kriya.
Pameran kali ini mengangkat tema Paradoksal Fatamorgana, ketiga kriyawan muda adalah Sarjiyanto, Kuswandi, Aji Wiyoko ingin memberi gambaran bawasannya sesuatu yang khayal atau mimpi-mimpi yang sulit dicapai itu yang sebenarnya bisa digapai dan diraih walaupun disana-sini banyak pertentangan antara jalur akedemik maupun non akedemik yang keduanya memegang teguh pendirianya masing-masing didalam mencari suatu kebenaran. Dengan semangat dan keberanian ketiga kriyawan muda ini yang masih duduk manis bersama teman-temannya dalam menutut ilmu di Institut Seni Indonesia Angkatan ’99 terus mengolah daya kreatifitasnya di dalam mengungkapkan gagasan dan ide-ide gila mereka melalui media seni kriya yang mereka kuasai, baik yang didapat di jalur akademik maupun jalur non akedemik.
Gebrakan dari ketiga kriyawan yang gagah berani ini mencoba untuk merubah wajah kriya yang nilai kemurniannya tidak terasa lagi patut kita dukung selalu Kesejajaran itu dapat tercapai karena perbedaan yang mencolok tersebut tidak ada lagi sangat tipis dan transparan. Untuk ketiga kriyawan jangan pernah berhenti terus berkarya dan karya kriya. Selamat berpameran terus berjuang menuntut kesejajaran. Mari terus ber-KRIYA.







No comments: