15 June 2007

Batik da Politik

Batik dan Politik
Perubahan zaman dari pemerintahan kerajaan ke pemerintahan republik, berdampak terhadap salah satu fungsi awal konsep penciptaan dan penerapan batik dalam. Kehidupan sosial budaya masyarakat, khususnya di Jawa. Sebagai sebuah hasil kebudayaan, batik tentu tidak terlepas dari aspek simbolisasi tentang suatu makna dan Interpretasi. Penerapan motif selalu dikonsep dan disesuaikan dengan keperluan atau fungsinya, ada fenomena pergeseran konsep yang terjadi dalam penerapan motif batik pada era Orde Baru, dengan digunakannya motif batik sebagai media politik untuk sebuah tujuan dan "misi khusus" didalamnva.
Perubahan era pemerintahan berbanding lurus dengan pergeseran permaknaan dalam penggunaan, atribut dam simbol, ini selalu disesuaikan dengan kepentingan sebuah, pemerintahan baru. Herusatoto (2003) menegaskan, bahwa daya simbolis sebuah simbol dapat berlangsung dalam waktu tertentu, dan dapat dimunculkan kembali manakala diperlukan. Aspek simbolisasi dalam motif batik sebagai sebuah harapan dan makna luhur, secara sengaja digeser ke dalam lingkaran kepentingan politik penguasa, dalam rangka untuk memperkokoh kekuasaannya. Penggunaan motif batik dalam politik, menurut dugaan penulis disebabkan oleh kuatnya eksistensi seni batik itu sendiri dalam konstelasi kebudayaan indonesia.
Penggunaan batik sebagai media politik pada era Orde Baru, salah satunya bisa dicermati dengan diwajibkannva seragam Korpri bagi para Pegawai Negeri Sipil. Batik digunakan sebagai seragam Pegawai Negeri Sipil, sejauh hanya bertujuan untuk konservasi sebuah hasil budaya belaka, barangkali sah‑sah saja selama tidak ada sebuah "misi khusus" yang melatar belakanginya. Seragam sendiri memang berkonotasi "penyeragaman", ini cenderung "ditradisikan" pada Era Orde baru yang bersifat Jawa Sentris. Penerapan motif batik pada seragam Korpri ini kalau. Dicermati secara seksama, ternyata merupakan sebuah sarana Propaganda yang halus dan tersamar sebagai penguat kekuasaan pemerintahan Orde Baru., Pegawai Negeri Sipil sebagai golongan yang identik dengan kepatuhan pada penguasa, merupakan sebuah alat dan motor penggerak yang relatif mudah dikontrol, sebagai salah satu komponen pendukungnya.
Motif yang diterapkan pada seragam Korpri tersebut, tak lain adalah penggunaan motif ‑ motif sarat makna vang diadopsi dari zaman kerajaan, diubah sedemikian rupa sehingga ada sebuah tafsiran. "khusus" tentang makna motif tersebut. Penerapan Simbolisasi pohon hayat yang distilisasi sedemikian rupa unsur motif yang sangat asosiasi masyarakat tentang lambang sebuah parpol, yang digunakan sebagai kendaraan. Politik orde baru pada waktu itu. Penerapan motif batik pada seragam Korpri bagi Pegawai Negeri Sipil, faktanya memang mempunyai implikasi lain dan sekedar sebuah pakaian seragam.
Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi negara dan aparatur pemerintah, menjadi sebuah sarana Propaganda politik yang cukup efektif, walaupun hanya. Sekedar lewat motif batik yang diterapkan dalam seragam Korpri yang dikenakannya. Ini berlangsung secara sadar atau tidak, manakala para Pegawai Negeri Sipil sedang berinteraksi dengan masyarakat secara luas ketika menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Dalam interaksinya tersebut, otomatis penggunaan seragam Korpri, mampu menimbulkan kesan dan opini yang kuat bagi masyarakat luas, termasuk didalam lingkungan keluarganya sendiri.
Seperti
dalam masyarakat hierarkis masa kerajaan‑kerajaan agraris lama, posisi pegawai negeri ditentukan oleh jaringan-­jaringan yang mengaitkannya. Baik dengan atasan maupun dengan bawahannya. Salah satu kunci sistem kepegawaian itu adalah apa yang disebut asas kekeluargaan, contohnya pada perkumpulan Dharma Wanita yang mencerminkan hierarkis jabatan itu, atau distilahkan sebagai paternalisme atau bapakisme (lombard, 2000 80). Hal ini dipahami dan dimanfaatkan betul pada masa orde baru dalam melaksanakan tujuan‑tujuan politiknva.
Dinamika perjalanan seni batik sebagai sebuah hasil kebudayaaan, ternyata sering bersinggungan dengan beberapa aspek yang menyertainya, penggunaan sebuali simbol dan atribut dalam kehidupan masyarakat, barangkali memang sudah jauh dikonsep sejak awal diciptakannya. Pergeseran sebuah simbolisasi, otomatis terjadi ketika dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu, konsep awal ketika sebuah budaya pertama kali diciptakan, ternyata dapat berubah serta dapat melenceng jauh dari konsep dan tujuan semula.
Sebagai penutup bisa ditambahkan, bahwa sejak kejatuhan era Orde Baru, fenomena penggunaan. Batik sebagai seragam Pegawai Negeri Sipil muncul kembali pada era reformasi. Sejauh pengamatan penulis, fenomena tersebut hanya bertujuan untuk melestarikan batik sebagai salah. Satu hasil budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, tanpa mempunyai tujuan, maksud dan interpretasi khusus. Mudah‑mudahan pada masa selanjutnya, eksistensi batik sebagai hasil. Budaya adiluhung dengan kandungan makna, Harapan dan tuntunan hidup yang 1uhur, dapat. terjaga dari pencemaran kepentingan politik golongan atau individu, yang cenderung merusak pamor dan citra seni batik itu sendiri.













No comments: